Senin, 02 Mei 2011

MAX HAVELAR DAN KEGALATAN PEMIKIRAN BANGSA

       Penulis : Ari Kristianawati, S.Pd. —Guru SMAN 1 Sragen—                     
NOVEL yang berkisah tentang penderitaan kaum bumiputera di Lebak (Banten) oleh praktek sistem tanam paksa abad 18 Max Havelaar dijadikan bahan studi akademik di PT di Belgia. Max Havelaar dianggap buku yang memberikan pemaknaaan mendalam tentang prinsip dan hakikat semangat menghormati keberagaman (multikultural). Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker tahun 1859 dengan nama samaran Multatuli dianggap sebagai representasi akademik yang bisa memotret realitas kolonialisme.



Dijadikannya Max Havelaar menjadi bahan studi akademik di negara yang kualitas pendidikannya lebih maju dibanding Indonesia adalah sebuah kenyataan yang “tragis”. Karena tidak banyak siswa, akademisi, guru, pelaku dunia pendidikan yang mengenal substansi Novel tersebut.
Bahkan Max Havelaar lebih banyak dikenal sebagai judul buku karya pejabat kolonial yang peduli terhadap nasib kaum petani di Hindia Belanda.
Max Havelaar tidak pula dikenal sebagai karya sastra yang memiliki efek pengaruh besar dalam daya apresiasi masyarakat. Max Havelaar yang mendunia dianggap tidak lebih penting dan bernas dibanding berderet-deret judul karya sastra yang dimitoskan sebagai pelopor perkembangan sastra di Indonesia, semacam Layar terkembang, salah asuhan, dsb.
Sebagai bangsa memang patutnya menjadi sebuah keprihatinan tersendiri apabila Max Havelaar diambil oleh bangsa lain, untuk dipelajari. Karena Max Havelaar meski yang menulis orang kolonial namun “ruh”-nya bercerita dan bersetting di Lebak (Banten). Menunjukkan realitas sosiologis, psikologis, kondisi ekonomi-politik masyarakat petani yang dimiskinkan oleh sistem tanam paksa diabad 18.
Alangkah menyedihkan nantinya apabila Max Havelaar lebih dipahami oleh bangsa lain dibanding bangsa yang nenek moyangnya dikisahkan dalam Max Havelaar. Hal tersebut seperti kisah dalam pepatah “raja buta yang merasa bisa melihat dan menasihati kebutaaannya terhadap hambanya yang bisa melihat.”
Jauh sebelum Max Havelaar dijadikan studi akademik di PT di Belgia, Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya besar Pramoedya yang lain diera 80an dan 90an dijadikan bahan kajian ilmiah dibidang sastra-budaya, humaniora, sejarah dibeberapa Universitas elite di AS, Inggris, Australia, Jepang, dsb.
Tetralogi Pulau Buru dianggap sebagai dokumen akademik untuk membingkai fakta sejarah tentang kolonialisme di Hindia Belanda dan beraneka roman pergerakan yang hadir dalam atmosfer penindasannya. Sementara Karya Pramoedya AT yang lain seperti Kronik Revolusi, Arus Balik, Panggil aku kartini saja, dsb dijadikan acuan studi kesejarahan yang valid dan akuntabel.
Tidak mengherankan banyak akademisi/ilmuwan lintas disiplin ilmu di universitas-universitas di Luar negeri yang berhasil meraih gelar master/doktor karena menjadikan karya Pramoedya sebagai objek riset. Ironisnya diera 80-an sampai kini karya Pramoedya dianggap “tabu” dan “terlarang” karena dianggap dekat dengan paradigma pemikiran kiri yang anti ideologi penguasa. Justru produk karya ilmiah, karya sastra yang direstui status quo untuk dijadikan naskah ajar, kualitas dan mutunya tidak diakui dikancah diskursus keilmuan di level internasional.
Max Havelaar dan juga karya magnum Opus Pramoedya Ananta Toer yang dimarjinalisasi di negeri ini dan sebaliknya di-”akui” kualitasnyadi dalam diskursus akademik di berbagai PT (Universitas) papan atas dunia merupakan ekspresi kegalatan berfikir bangsa ini, khususnya para penguasa dan pemangku kebijakan pendidikan nasional.
Ada beberapa hal yang menjadi bukti kegalatan berfikir, yang terkait dengan Max Havelaar;
Pertama, orientasi pendidikan nasional saat ini bercorak western Oriented. Pendidikan dioptimalisasi dan diskenario untuk melayani ambisi mengejar ketertinggalan mutu/kualitas dengan negara maju. implikasinya materi, muatan kurikulum, pola pembelajaran menjiplak mentah-mentah “model” pendidikan di negara maju. bahkan materi keilmuan yang bersifat domestik dan kaya wacana diabaikan dan dianggap tidak penting.
Kedua, keinginan menjadi pengekor (epigonistik) pendidikan di negara maju yang abai terhadap prinsip mengedepankan nilai kearifan lokal dalam pendidikan nasional, membuat pemangku kebijakan lupa tentang fakta bahan akademik (studi) yang dilahirkan—-direproduksi—- pemikir/penulis besar bangsa ini.
Ketiga, Max Havelaar adalah karya hebat yang menjadi referensi acuan pelajaran sastra, sejarah, sosiologi-antropologi namun tidak pernah dijadikan bahan pokok pelajaran dijenjang sekolah dasar dan materi kuliah utama di PT di Indonesia.
Hal yang aneh Max Havelaar dan Tetralogi Pramoedya dijadikan bahan studi diPT/sekolah dinegara maju justru di negeri sendiri mengalami politik pengalpaan. Sebuah pertanyaan; mau dibawa kemana masa depan pendidikan di negeri ini, jika bangsa ini melupakan data kritis-objektif tentang masa lalu bangsanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar