Kamis, 02 Juli 2020

4 TAHUN PPDB ZONASI, TERNYATA POLA PIKIR ORANG TUA SISWA BELUM BERUBAH

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini, 2020 masih saja terjadi keributan. Biasa, protes. Merasa tidak puas terhadap layanan yang diberikan oleh panitia sampai tidak mau menerima keputusan hasil siswa yang diterima dan yang tidak diterima.
Orang tua siswa merasa kalau anaknya lebih pinter tetapi kok tidak bisa masuk. Ada apa? begitu protesnya dengan nada yang kurang enak di telinga. Ada juga yang protes terkait dengan zonasi sekolah. Orang tua siswa tersebut merasa kalau anaknya tinggal di zonasi yang ditentukan tetapi mengapa tidak diterima. Mengapa, mengapa? Terus harus sekolah ke mana? Begitu protesnya.
Ujung-ujungnya menuduh kalau panitia PPDB tidak adil, ada main, dan tidak fair. Tentu saja yang menjadi panitia merasa sakit, mendengar tuduhan kejam seperti itu. Masalahnya panitia sudah memberi layanan yang terbaik walaupun harus ribet memakai masker dan harus sabar yang luar dari biasanya. Masalahnya kondisi pandemi covid-19 memang harus mematuhi protokol kesehatan: cuci tangan, jaga jarak dan tidak boleh berdesakan; sehingga pelayanan pendaftaran siswa baru cukup memakan waktu lumayan lama.
Kalau dianalisis, terkait dengan protes-protes orang tua siswa dalam PPDB faktor penyebab utama adalah "pola pikir orang tua siswa yang masih belum berubah". Orang tua siswa masih saja berpikir adanya sekolah favorit. Mereka beranggapan kalau anaknya pinter, nilainya tinggi pasti bisa diterima di sekolah tersebut. Padahal aturan main sudah berubah empat tahun yang lalu. Pemerintah sudah merubah sistem penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi.
Sistem zonasi pendidikan menekankan bahwa semua anak usia sekolah harus bisa memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan. Agar tidak menjadi beban, maka hal-hal yang menjadi kendala -khususnya biaya- ditekan seminimal mungkin, bahkan digratiskan. Oleh karena itu sekolah harus bisa dinikmati oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya. Itulah sistem zonasi. Dengan demikian seorang siswa pasti bisa masuk sekolah karena tidak lagi memikirkan biaya transport maupun biaya kost karena sekolah di tempat jauh.
Namun demikian, kemampuan sekolah menerima siswa baru juga terbatas. Tidak semua siswa yang mendaftar bisa ditampung di sekolah tersebut. Oleh karena itu dilakukan seleksi. Dari sinilah akan ada siswa yang diterima sejumlah tempat duduk yang ada dan selebihnya tidak diterima karena kuota tempat duduknya sudah habis.
Lantas sekolah dimana?
Bagi yang tidak bisa masuk dalam sekolah yang terdekat, maka harus mencari sekolah lain di sekitar tempat tinggal yang nasih cukup dekat. Tidak mau! Maunya masuk sekolah itu yang favorit. Anak saya kan pinter, maka harus masuk sekolah favorit! Orang tua masih saja berpegang pada konsep lama. Sekarang tidak lagi ada sekolah favorit Pak, semua sekolah sama. Bahkan sekolah negeri dan sekolah swasta juga setara kedudukannya; begitu penjelasan saya kepada orang tua siswa yang dari tadi protes dan tampak kesal karena anaknya tidak bisa masuk ke sekolah yang katanya 'favorit' tersebut.
"Huh, dasar orang tua kolot!", gumam saya dalam hati. Loh, saya kok jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapa yang salah ya? He... he.... [Mukhlis]