Sabtu, 28 Mei 2011

Makalah Hasil Penelitian Bidang Pendidikan

REFORMASI PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA
Tatak Prapti Ujiyati
Peneliti Senior Bidang Sosial The Indonesian Institute
PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan dasar, pemerintah SBY menghadapi persoalan yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Persoalan itu berkutat seputar kewajiban untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik.
Kewajiban negara memberikan pendidikan berkualitas.
Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pasal-pasal dalam batang tubuh UUD ’45 juga memperjelas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Pasal 28B (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan 1) setiap warga berhak mendapat pendidikan, 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Ketentuan UUD di atas menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas memang menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah Indonesia sedari awal. Pendiri negara pada saat itu menyadari betul pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.
Ini juga berarti amanah kepada setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia untuk memberikan pendidikan bagi warga negaranya. Pada tahun 2003, pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri menterjemahkan amanah ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas menyebutkan keinginan besar pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengamanatkan agar dana pendidikan – selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan dana APBN sebesar itu pemerintah bercita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis.
Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur 7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang (Fazli Jalal, 2005)
Dengan dasar hukum yang kuat seperti di atas maka mau tidak mau dalam setiap program pembangunan—-Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Program Pembangunan Nasional (Propenas), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)—– kebijakan bidang pendidikan selalu muncul sebagai bahasan utama.
Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia.
Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1).



Tabel 1:
Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan

Pendidikan Presentase
1 Tdk/ blm tamat SD 22%
2 SD 39%
3 SLTP 17%
4 SLTA 18%
5 Diploma 2%
6 Universitas 2%

TOTAL 100%
Diolah dari data Susenas, BPS 2003
Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003).
Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah—masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen).
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen.
Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen.
Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun).
Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah.
Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.
Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh.
Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah).
Tabel 2:
Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas
di The First Step to Nobel Prize
Tahun Nama Sekolah
1999 I Made Agus Wirawan SMUN 1 Bangli, Bali
2004 Septinus George Saa SMUN 3 Jayapura, Papua
2005 Anike Nelce Bowaire SMAN 1 Serui, Papua
2005 Dhina Pramita Susanti SMAN 3 Semarang, Jateng
Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005
Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474.
Mengapa timbul fenomena yang paradoksal seperti ini? Nampaknya persoalan bukan terletak pada kualitas manusianya namun lebih pada kualitas dan sistem pendidikan di Indonesia.
Melihat sederet persoalan di bidang pendidikan ini, publik saat ini menunggu kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk segera menyelesaikannya. Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih.
KEBIJAKAN UMUM PEMERINTAHAN SBY
Kebijakan umum pemerintahan SBY-Kalla ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJMmenyebutkan target ”meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas—- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan—, namun juga kualitas pendidikan di Indonesia. Target ini nampaknya memang ideal untuk mengatasi persoalan pendidikan yang selama ini dihadapi dan segaris dengan amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada warga negaranya.
Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun[2].
Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye.
Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras[3]. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi Indonesia. Sebabnya UUD ’45 pasal 31 jelas-jelas memerintahkan agar negara mengalokasikan paling tidak 20 persen anggaran APBN untuk kepentingan bidang pendidikan. Alasan ini membuat pengamat pendidikan terus meragukan komitmen pemerintah SBY-Kalla dalam pembangunan pendidikan.
Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan—yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan.
Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand saja anggaran pendidikan Indonesia masih kalah jauh. Anggaran pendidikan Indonesia rata-rata hanya sepertiga dari anggaran pendidikan negara-negara tersebut. Bahkan anggaran pendidikan Zimbabwe misalnya mencapai 8 kali lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat parah sebab Indonesia ternyata merupakan Negara yang menyediakan anggaran pendidikan terkecil ke dua setelah Myanmar (Smeru 2004: 18).
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR:
Ditengah keterbatasan dana dan keraguan masyarakat tersebut pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi persoalan-persoalan pendidikan yang telah diuraikan di atas. Sepanjang rentang 6 bulan pemerintahannya, SBY-Kalla telah mengambil sejumlah kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Secara garis besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu 1) kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan 2) kebijakan untuk memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan pemerintah ini satu persatu diuraikan di bawah ini.
Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dalam RPJM, pemerintah menyadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hasil survei TIMMS memperlihatkan bahwa nilai murid di Indonesia secara umum lebih rendah dari standar rata-rata.
Menurut pemerintah kualitas pendidikan ini terutama disebabkan oleh 1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik kualitas maupun kuantitas, 2) kesejahteraan pendidik masih rendah, 3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, 4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menggambarkan rendahnya tenaga pendidik ini. Survei menunjukkan bahwa belum semua tenaga pendidik SD/ MI berpendidikan D-2 ke atas (baru mencapai 61.4 persen). Demikian juga guru SMP/ Mts masih banyak yang berpendidikan di bawah D-3. Guru SMP/MTs yang mengenyam pendidikan D-3 ke atas barulah mencapai 75.1 persen. Dengan kualitas pendidikan formal guru yang belum memadai tentu saja tak mungkin diharapkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Persoalan rendahnya kesejahteraan pendidik juga merupakan persoalan tersendiri. Alasan ini tak jarang menyebabkan pendidik terpaksa mencari tambahan pendapatan lain. Sehingga terjadi kasus sekolah atau pendidik menjadi agen penjualan buku-buku wajib untuk murid. Kejadian ini memungkinkan terjadinya buku wajib yang berganti setiap tahunnya, yang memberatkan beban orang tua murid.
Ditengah upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, pemerintah menghadapi kendala yang serius yaitu keterbatasan dana. Dengan latar belakang demikian sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah SBY-Kalla sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Perpanjangan Masa Pakai Buku Pelajaran Sekolah
Setiap kali kenaikan kelas, orang tua murid selalu gundah mencari tambahan biaya untuk membeli buku paket pelajaran baru dari sekolah. Ditengah-tengah keresahan orang tua siswa tersebut, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab, melontarkan gagasan pemberlakuan buku pelajaran minimal 5 tahun. Gagasan ini muncul merespon ramainya keluhan para orang tua siswa yang harus menanggung lebih banyak biaya untuk buku paket pelajaran. Meskipun seorang siswa memiliki kakak yang duduk di kelas lebih tinggi, ia harus membeli buku pejarana baru. Fenomena ini seringkali dilukiskan dengan jargon ”ganti tahun ganti buku pelajaran”.
Menindaklanjuti gagasan Menko Kesra ini, akhirnya kebijakan tentang perbukuan tingkat SD sampai dengan SLTA dimasukkan sebagai target wajib belajar pendidikan 9 tahun dalam Program 100 Hari SBY. Untuk ini akan diterbitkan Peraturan Presiden yang megatur buku pelajaran.
Substansi peraturan ini antara lain adalah buku pelajaran dibatasi masa pakainya minimal lima tahun. Penerbit dilarang langsung berjualan buku ke sekolah dan ada sanksi administrasi bagi pelanggarnya. Hal ini terutama untuk menghindari praktik percaloan buku di sekolah yang ujung-ujungnya hanya akan memberatkan beban orang tua siswa.
Kebijakan pembatasan buku pelajaran ini sekilas nampak sebagai kebijakan populis. Artinya pemerintah dengan kebijakan ini ingin mencitrakan keberpihakannya pada rakyat banyak. Pasalnya dengan mematok buku pelajaran berlaku minimal selama lima tahun, masyarakat tak perlu harus membeli buku pelajaran baru. Siswa memiliki pilihan untuk memakai buku pelajaran kakak kelasnya, sehingga siswa miskin tak lagi perlu mengeluarkan biaya.
Namun demikian, Perpres pembatasan buku pelajaran sekolah ini apabila tidak dikaji secara serius sebenarnya mengandung dampak negatif menghambat pembaharuan informasi bagi anak didik. Untuk menghindari ”salah kebijakan” yang dapat berakibat buruk bagi mutu pendidikan di Indonesia sebaiknya pemerintah SBY-Kalla memilah persoalan yang ada. Dalam hal buku paket sekolah ini, sebenarnya ada dua akar persoalan yang membutuhkan penyelesaian berbeda.
Persoalan pertama, mutu buku paket pelajaran. Mutu buku sekolah saat ini masih sangat rendah. Hal ini paling tidak tercermin dari studi Sri Redjeki pada tahun 1997. Dari sekitar 300 buku teks biologi SD-SMA yang ia teliti, ternyata isi buku-buku teks Biologi yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia ketinggalan 50 tahun (Supriadi, Dedi 2000: 27).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebelum adanya pembatasan masa berlaku buku pelajaran saja buku-buku ilmu pengetahuan Indonesia tertinggal jauh. Apalagi kalau di adakan pembatasan sebagaimana yang dilontarkan oleh pemerintah.
Ilmu pengetahuan dan informasi berkembang sangat cepat, apabila buku pelajaran dipatok berlaku selama minimal 5 tahun akan menghambat perkembangan pengetahuan anak didik. Apalagi perubahan isi buku tidak hanya menyangkut substansi atau isi, tetapi juga metodologi dan cara penyampaian. Persoalan menjadi lebih parah karena masyarakat Indonesia saat ini masih amat bergantung kepada buku pelajaran dan belum terbiasa dengan media lain seperti internet, sementara guru tidak memiliki motivasi mencari alternatif informasi, hal ini dapat menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia[4].
Oleh karena itu kebijakan pembatasan masa pakai buku pelajaran ini ditakutkan justru akan lebih menurunkan kualitas pendidikan siswa Indonesia. Melihat kondisi ini semestinya pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperbaharui secara kontinyu buku paket pelajaran siswa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada.
Persoalan kedua, mencegah beban biaya yang terlalu berat bagi orang tua siswa. Buku sekolah saat ini memegang peranan yang sangat dominan di sekolah. Studi yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (Supriyadi 1997 dalam Supriyadi 2000: 46). Semakin banyak buku yang dimiliki dan dibaca oleh siswa semakin baik prestasi belajarnya.
Meskipun buku memiliki arti yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, namun harus dimaklumi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih miskin. Jangankan membeli banyak buku pelajaran sekolah, biaya pokok sekolah saja masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Saat ini mayoritas masyarakat menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal[5].
Ditengah persoalan semacam ini, praktek percaloan buku di sekolah sudah menjadi rahasia umum. Pihak guru atau sekolah mengharuskan siswa untuk membeli buku-buku paket pelajaran melalui mereka, sehingga muncul semacam praktek monopoli yang merugikan. Keharusan membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran baru membuat beban orang tua menjadi lebih berat.
Kebijakan pemerintah yang diambil semestinya mengatasi dua hal tersebut. Publik membutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi beban orang tua tanpa mengorbankan kualitas pendidikan siswa. Kualitas pendidikan siswa dapat dijaga dengan menerbitkan kebijakan yang ketat terhadap pembaharuan isi dan metodologi buku pelajaran. Selain itu juga memperbesar akses siswa terhadap buku pelajaran. Salah satu caranya tentu saja dengan diterbitkannya banyak jenis buku paket gratis dan buku murah.
Mahkfiuddin Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), menyarankan agar kebijakan yang ditempuh bukannya mematok masa pakai buku pelajaran namun memperketat pengawasan agar tidak terjadi monopoli perdagangan buku di sekolah. Selain itu ia juga mengusulkan adanya pembenahan subsidi pada buku pejaran, buku pelajaran dapat dibebaskan dari pajak sehingga harganya lebih murah.
Peningkatan Mutu Pendidikan dengan Ujian Nasional
Dalam logika pemerintah, ujian nasional adalah suatu cara yang mesti ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan memang telah dicanangkan sebagai target bagi pemerintah dan tercantum dalam RPJM. Untuk mengadakan ujian nasional ini pemerintah merencanakan diadakan dua kali, yaitu pada bulan Mei dan Juni 2005. Berdasar kesepakatan antara komisi X dengan Depdiknas anggaran pelaksanaan sebesar Rp 249 milyar baru akan terbit setelah PP Standar Nasional Pendidikan disyahkan.
Setelah PP no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan diterbitkan ujian nasionalpun diadakan sesuai rencana pemerintah. Pihak pemerintah mengklaim bahwa keputusannya ini diambil setelah didukung oleh serentetan studi yang dilakukan oleh Depdiknas (Kompas, senin 31 Januari 2005).
Sebenarnya PP Standar Pendidikan Nasional ini menuai reaksi keras publik karena dituduh dibuat secara tergesa-gesa dengan maksud menjadi alat pengesah dari kebijakan pemerintah yang lain yaitu pelaksanaan ujian nasional. Pengadaan ujian nasional yang dilakukan secara tergesa-gesa ini dikritisi oleh masyarakat karena berbagai alasan di bawah ini;
Ketidaksiapan Murid. Ujian nasional dilaksanakan secara tiba-tiba membuat siswa tidak siap. Hal inipun cukup merepotkan guru, mereka kesulitan menjelaskan standar nilai kelulusan kepada siswa. Akibatnya mereka pun tidak tahu sejauh mana materi yang akan diberikan kepada siswa untuk persiapan ujian nasional. Pasalnya, standar nilai kelulusan akan ditentukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan yang pembentukannyapun baru saja dilakukan dan belum efektif bekerja. Kenyataan ini sangat meresahkan baik siswa, guru, maupun orang tua siswa.
Ujian Nasional diskriminatif terhadap sekolah pinggiran. Sekolah pinggiran—-seperti yang berada di daerah terpencil, daerah bencana, daerah konflik, dan daerah miskin— tak memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah di daerah lain. Oleh karena itu ujian nasional yang diadakan secara tergesa-gesa tak memberi kesempatan kepada mereka untuk menyiapkan diri secara lebih baik. Akibatnya ujian nasional cenderung diskriminatif terhadap mereka, jika dibanding dengan siswa dari daerah-daerah yang normal.
Ujian nasional cenderung memberatkan orang tua siswa. Menurut pengamatan Kompas, biaya yang dikeluarkan oleh siswa menghadapi ujian nasional cenderung bertambah besar. Kenaikan biaya itu akibat biaya tak langsung untuk persiapan ujian nasional seperti biaya pengayaan materi—mulai dari tambahan biaya pengajar dan tambahan materi dari buku-buku atau foto copy—- dan try out.
Memakai porsi anggaran pendidikan Depdiknas. Ujian nasional tidaklah murah, untuk menyelenggarakannya akan menelan anggaran Depdiknas yang dialokasikan dari APBN. Sebagai perbandingan, Ujian Akhir Nasional (UAN) 2004 misalnya menghabiskan anggaran sekitar Rp 300 milyar. Karena itu tak salah bila ada yang mengkritik bahwa penyelenggaran ujian nasional hanyalah pemborosan anggaran. Di tengah bertumpuknya persoalan pendidikan, pemborosan anggaran sangatlah tidak tepat.
Peningkatan mutu pendidikan dan standaridisasi pendidikan tidaklah mudah. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah justru pemikiran segar guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang membutuhkan strategi bertahap dan tanpa penyeragaman. Sekolah-sekolah yang kurang berkualitas atau di daerah-daerah terpencil dapat dipacu dahulu dengan berbagai bantuan untuk peningkatan kualitas, baik dari segi prasarana dan tenaga pengajar, sampai akhirnya siap dilakukan standarisasi yang sesungguhnya[6].
Gino Vanollie, sekretaris umum Forum Martabat Guru Indonesia, berpendapat daripada langsung mengadakan ujian nasional seharusnya pemerintah terlebih dahulu melakukan evaluasi apakah pemenuhan standar pelayanan minimum pendidikan sudah dilaksanakan di sekolah-sekolah, mulai dari program hingga kualitas guru. Sebab bila belum maka ujian nasional hanyalah akan melakukan diskriminasi terhadap daerah-daerah yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan.
Peningkatan Profesionalisme Guru
Karena penasaran kenapa sedikit sekali lulusan SMA yang berhasil lolos seleksi program-program studi eksak, Dinas Pendidikan NTT mengadakan tes untuk para guru SMA. Dalam tes tersebut, para guru diminta mengerjakan soal-soal matematika, fisika, dan kimia yang diambil dari soal-soal ujian masuk perguruan tinggi. Hasilnya sangat mengejutkan, ternyata para guru hanya mendapat nilai rata-rata 4,0. Kasus di propinsi NTT ini menunjukkan betapa rendah kualitas guru di Indonesia.
Pemerintah SBY-Kalla, sebagaimana disebut dalam RPJM, menyadari bahwa mutu guru merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu sebabnya adalah dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya seringkali guru diangkat dengan mekanisme crash program. Guru-guru diangkat bukan dari lulusan pendidikan guru namun hanya melalui training singkat[7].
Untuk meningkatkan mutu guru, Mendiknas mencanangkan program peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik dalam program 100 hari pertama kabinetnya. Sebagai tindak lanjut dari program ini maka pada tanggal 2 Desember 2005 lalu, pada peringatan hari guru nasional, Mendiknas mencanangkan guru sebagai profesi.
Peningkatan status guru dari pekerja menjadi profesi harus diikuti pendidikan khusus yang dapat meningkatkan kualitas mereka. Menurut Menteri, peningkatan kualitas guru itu sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Kompas, Jum’at 28 Januari 2005).
Kebijakan peningkatan profesionalisme guru tak cukup berhenti sampai di sini. Untuk ini pemerintahan SBY telah merancang RUU tentang guru. Pemerintahpun telah mempersiapkan lembaga utama yang mengurusi profesi guru, yakni Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan yang saat ini dijabat oleh Fasli Jalal.
Pasal 12 (1) RUU guru versi penyempurnaan 9 November 2004 disebutkan bahwa gaji guru pegawai negeri sipil (PNS) ditetapkan lebih tinggi dari pada gaji PNS lain, yang besarannya diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah. Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan bahwa gaji guru non-PNS ditetapkan oleh penyelenggara satuan pendidikan dengan mengacu kepada besaran gaji guru PNS tersebut.
Menurut Mohammad Surya, Ketua Pengurus Besar PGRI, RUU tersebut ingin melindungi hak guru yang selama ini terabaikan. Alasannya, ”kalau tidak ada landasan hukumnya, kesejahteraan para guru tidak akan meningkat dan akan terus berdampak pada kualitas pendidikan di Indonesia”.
Mendukung hak-hak guru adalah langkah maju dalam kebijakan pendidikan. Sebab kebijakan ini seiring dengan tuntutan peran profesional guru. Hanya saja persoalan profesionalisme guru tak akan selesai semata dengan memberikan sebuah Dirjen yang mengurusi peningkatan mutu guru. Pasalnya peningkatan mutu guru bukanlah persoalan birokrasi dan manajemen semata.
Demikian juga kualitas pendidikan dasar di Indonesia tak cukup dilakukan hanya dengan peningkatan kesejahteraan PNS. Pasalnya, saat ini ribuan sekolah masih sangat tergantung pada jutaan guru bantu dan guru honorer bergaji sangat rendah. Di bawah ini adalah data guru bantu di setiap propinsi di Indonesia.

Tabel 3.
Data Sebaran Guru Bantu Menurut Jenjang Pendidikan
di Tiap Propinsi tahun 2003
No Propinsi Jenis/Jenjang Sekolah Total
SD SMP
1 DKI Jakarta 925 1.071 1.996
2 Jawa Barat 17.448 4.586 22.034
3 Jawa Tengah 9.563 6.779 16.342
4 D.I.Yogyakarta 669 381 1.050
5 Jawa Timur 8.498 5.098 13.596
6 Nangroe Aceh 1.425 1.410 2.835
7 Sumatera Utara 7.067 2.357 9.424
8 Sumatera Barat 3.666 1.297 4.963
9 Riau 2.594 1.171 3.765
10 Jambi 1.555 671 2.226
11 Sumatera Selatan 3.763 2.127 5.890
12 Lampung 2.233 1208 3.441
13 Kalimantan Barat 2.302 849 3.151
14 Kalimantan Tengah 1.547 920 2.467
15 Kalimantan Selatan 1.659 1.009 2.668
16 Kalimantan Timur 1.016 539 1.555
17 Sulawesi Utara 307 250 557
18 Sulawesi Tengah 2.285 1.288 3.573
19 Sulawesi Selatan 4.735 1.693 6.428
20 Sulawesi Tenggara 1.220 667 1.887
21 Maluku 3.202 394 3.596
22 Bali 1.164 486 1.650
23 NTB 1.404 711 2.115
24 NTT 2.722 884 3.606
25 Papua 1.640 615 2.255
26 Bengkulu 471 331 802
27 Maluku Utara 283 227 510
28 Banten 10.430 3.313 13.743
29 Bangka-Belitung 816 194 1.010
30 Gorontalo 648 175 823
Total 13.597 42.701 56.298
Diolah dari data Balitbang Depdiknas 2003
Melihat bahwa jumlah guru bantu tingkat SD dan SMP yang demikian banyak, sesungguhnya pendidikan di Indonesia bergantung terhadap mereka. Apabila seluruh guru bantu yang ada menarik diri dari mengajar proses belajar mengajar di sekolah akan terganggu. Oleh karena itu, pemerintah tak cukup hanya memperhatikan kesejahteraan guru PNS. Guru bantu juga patut mendapatkan penngkatan kesejahteraan karena mereka memiliki fungsi yang sama dengan guru PNS.
Kebijakan Memperbesar Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan.
Selain mutu pendidikan, pemerintah juga ingin memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan sebagaimana tercantum dalam RPJM. Lagi-lagi kendala utamanya adalah anggaran yang rendah. Dengan latar belakang persoalan ini pemerintahan SBY-Kalla mengambil beberapa kebijakan sebagai berikut.
Pembagian Dua Jalur Pendidikan Berdasar Kemampuan Dana.
Keterbatasan anggaran pendidikan menggiring pemerintah menempuh kebijakan membagi dua jalur pendidikan. Kebijakan ini dikeluarkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Secara formal PP tentang standar nasional pendidikan ini membedakan pendidikan menjadi dua jalur yaitu sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar.
Sekolah formal mandiri merupakan jalur pendidikan formal yang diperuntukkan bagi warga negara yang mampu baik secara akademik maupun finansial, dan memandang pendidikan sebagai investasi untuk masa depan. Sementara sekolah formal standar adalah jalur pendidikan formal yang diperuntukkan bagi warga negara yang kurang mampu baik secara akademik maupun finansial, sekaligus sebagai jaring pengaman bagi mereka yang gagal/ belum berhasil bersaing di jalur formal mandiri.
Sekolah formal mandiri memiliki tema utama ”mutu dan keunggulan kompetitif pada tingkat nasional dan global”. Pendidikan pada jalur ini diselenggarakan secara mandiri tanpa menutup kemungkinan bantuan dari pemerintah/ pemerintah daerah. Desain pendidikan dirancang terutama bagi mereka yang mampu bersaing untuk memperoleh pendidikan bermutu dan bersedia membayar biayanya.
Sementara sekolah formal standar mengusung tema utama ”pemerataan pendidikan dan keadilan akses terhadap pelayanan pendidikan bermutu yang sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Untuk menjamin pemerataan pendidikan dan keadilan akses, bantuan atau bimbingan dari pemerintah dan/ atau pemerintah daerah masih besar peranannya. Pada tingkat pendidikan Wajib Belajar 9 tahun, pendanaan biaya operasi satuan pendidikan dijamin oleh pemerintah daerah, tanpa menutup kemungkinan bantuan dari masyarakat. Pendidikan pada jalur ini dirancang terutama bagi mereka yang bersekolah dengan harapan untuk mempermudah mencari pekerjaan.
Depdiknas memberikan penjelasan resmi berkaitan dengan pembagian dua jalur pendidikan dalam PP no 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan ini. Menurut Depdiknas, pengklasifikasian sekolah/ madrasah ke dalam kategori standar dan mandiri lebih diarahkan untuk kepentingan pemetaan. Langkah ini sekaligus sebagai upaya untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan penentuan prioritas pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan guna mencapai kualitas pendidikan sesuai standar nasional menjadi mandiri[8].
Nampaknya pemerintah melihat bahwa pembagian dua jalur pendidikan ini adalah alasan yang rasional ditengah keterbatasan anggaran pendidikan. Keterbatasan anggaran membuat pemerintah berpikir untuk memfokuskan penyaluran dana bagi jalur pendidikan formal standar. Sementara jalur pendidikan formal mandiri pendanaannya diserahkan lebih banyak kepada masyarakat, terutama apabila masyarakat ingin mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Ada dua hal yang patut dikritisi dari kebijakan pembagian dua jalur pendidikan ini. Kritik yang pertama berkaitan dengan substansi kebijakan itu sendiri. Kritik yang kedua berkaitan dengan proses dilahirkannya kebijakan.
Pertama, substansi kebijakan dua jalur pendidikan cenderung diskriminatif. Ketika anak didik kaya dan miskin dipisahkan yang terjadi justru adalah segregasi sosial. Anak dari keluarga berada tak akan mampu belajar berempati terhadap temannya yang miskin, demiakian sebaliknya. Pembagian jalur ini juga akan memberi label sosial bahwa siswa miskin memiliki kebutuhan pendidikan yang berbeda dari siswa yang mampu secara ekonomi. Diskriminasi ini jutru menyalahi hakekat pendidikan yang mengajarkan keadilan dan humanisme. Alasan yang nampaknya rasional dari segi hitung-hitungan ekonomi ini menjadi tidak sederhana karena dampak sosialnya sangat besar.
Pembedaan label sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar juga berpotensi menebar stigmatisasi sekolah kaya dan sekolah miskin di masyarakat dan dunia kerja. Sekolah formal standar akan mengesankan sebagai sekolah anak miskin sehingga pelayanan akademiknya pun sangat minimal. Sebaliknya sekolah formal mandiri memunculkan kesan sekolah anak orang kaya sehingga pelayanan akademiknya pun jadi maksimal.
Terakhir, sekolah negeri jika sudah dikategorisasikan oleh pemerintah menjadi sekolah formal mandiri, dengan sendirinya tidak lagi menerima subsidi dari pemerintah. Konsekuensinya sekolah bersangkutan akan menarik dana sebesar-besarnya dari masyarakat. Bila demikian yang terjadi, sekolah negeri akan berposisi sebagai sekolah swasta. Akhirnya yang terjadi adalah penyimpangan logika, dimana sekolah negeri yang befungsi sebagaia layanan publik berubah menjadi sektor privat. Hal ini memiliki implikasi lebih serius yaitu pengurangan tanggung jawab negara terhadap pembiayaan pendidikan. Pemerintah, dalam hal ini justru melimpahkan beban biaya pendidikan kepada masyarakat [9].
Kedua, proses kelahiran kebijakan tidak demokratis.Sebelum dikeluarkannya PP no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, persoalan yang sama sempat muncul dalam wacana publik. Rencana Strategi (Renstra) yang dibuat oleh Depdiknas sempat bocor ke tangan publik dan menuai reaksi keras karena pembagian dua jalur pendidikan ini.
Akibat kritik keras masyarakat terhadap Renstra Menteri Bambang Sudibyo bahkan sempat menyangkalnya dengan mengatakan bahwa Renstra itu hanyalah sebuah wacana (Kompas 14 April 2005). Ia bahkan sempat akan mengancam orang-orang yang mewacanakan topik yang ada dalam Renstra sebagai ”membocorkan rahasia negara”. Ia juga menyebut orang yang mewacanakan Renstra ”bisa dituntut secara hukum”.
Penolakan Mendiknas untuk mewacanakan kebijakan Renstra dan membuat kebijakan lain yang senapas dengan mengabaikan kritik, sungguh bertolak belakang dengan semangat demokrasi. Semangat demokrasi ini dalam aras kebijakan publik telah merubah konsep government menjadi governance, dalam hal ini kebijakan publik tak lagi dipandang sebagai dominasi pemerintah (Edi Suharto, 2005: 13). Dalam konsep ini keterlibatan masyarakat dalam menciptakan kebijakan publik adalah keharusan.
Dalam kasus pembagian pendidikan menjadi dua jalur ini, pemerintah justru cenderung merahasiakan kebijakan publik yang akan diambilnya. Tiba-tiba saja kebijakan pembagian dua jalur pendidikan—- yang nota bene bersangkutan dengan nasib seluruh rakyat Indonesia—telah diambil tanpa mempedulikan komentar publik.
Wajib Belajar Sembilan Tahun: Maksimalisasi Peran Serta Masyarakat.
Salah satu target khusus yang disebutkan dalam RPJM adalah meningkatnya taraf pendidikan penduduk Indonesia. Target ini dicapai dengan dua indikator yaitu 1) meningkatnya prosentase pendudukan yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan 2) meningkatnya secara signifikan partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan menengah.
Komitmen pemerintah untuk meningkatkan prosentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ini dilakukan dengan menyiapkan draft Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Wajib Belajar Sembilan Tahun. Seperti dikutip Kompas, Jum’at 13 Mei 2005 pasal 13 (1) RPP Wajib Belajar menyatakan: Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menjamin pendanaan penyelenggaraan wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Namun demikian, komitmen ini tidak sepenuhnya ditanggung sendiri oleh pemerintah. Pemerintah ingin melimpahkan tanggung jawab pendidikan wajib sembilan tahun ini ke pundak masyarakat, sebagaimana yang tercantum dalam ayat-ayat RPP selanjutnya. Ayat (4) berbunyi: Pemerintah dan pemerintah daerah membantu pembiayaan penyelenggaraan program wajib belajar yang diselenggarakan masyarakat. Kata ”membantu” dalam ayat (4) mencerminkan melemahnya tanggung jawab pemerintah. Kata membantu dengan sendirinya tak lagi memosisikan pemerintah sebagai pemeran utama dalam pembiayaan wajib belajar.
Melemahnya komitmen pemerintah ini semakin tampak dalam ayat (7): Pendanaan wajib belajar dapat beasal dari masyarakat atau sumbangan lain yang tidak mengikat. Jelas ayat ini dinilai menggiring masyarakat untuk mengambil alih tanggung jawab pemerintah dalam membiayai wajib belajar.
Kebijakan pendidikan dasar pemerintahan SBY ini tak berbeda dengan kebijakan klasik yang diambil oleh pemerintahan Megawati. UU Sisdiknas no 20/ 2003 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Megawati, pada pasal 46(1), menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dengan rumusan UU ini artinya pemerintah telah membalikkan logika awal yang dibangun oleh UUD bahwa pemerintah adalah pihak utama yang bertanggungjawab memberikan pendidikan berkualitas. UU Sisdiknas telah membuat logika baru bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab negara namun juga masyarakat. Lebih jauh logika ini menjadi pemerintah bertanggung jawab separuh, masyarakat bertanggung jawab separuh.
RPP Wajib Belajar Sembilan Tahun ini menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) V yang berlangsung di Surabaya Oktober 2004 menelurkan 20 butir rekomendasi yang dituangkan dalam Deklarasi Surabaya 2004. Salah satu butir rekomendasi itu menekankan perlunya pemerintah memperbaiki program pendidikan, terutama demi mencegah putus sekolah (drop out) peserta didik jenjang pendidikan dasar. Menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Prof Dr Fakry Gaffar, tingginya angka drop out dan maraknya kasus bunuh diri karena alasan biaya belakangan ini mestinya menyadarkan tim penyususn draf RPP untuk makin jeli dalam mencocokkan antara perangkat aturan, kenyataan sekarang, dan target yang dituju.
Aktivis pendidikan, Lodi Paat juga menyampaikan kritiknya dalam FGD TII. Ia menyatakan bahwa upaya pelibatan masyarakat dalam proses pembiayaan pendidikan sebenarnya membuktikan niat pemerintah untuk menghindar dari tanggung jawabnya menanggung biaya pendidikan dasar yang sebenarnya sudah jelas tertuang dalam UUD ’45.
Senada dengan Lodi Paat, Mohammad Abduhzen dalam makalahnya menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas, RUU BHP, dan RUU Wajib Belajar adalah sebuah paradigma yang keliru. Pasalnya sudah jelas dalam UUD 45 ditegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Artinya pendidikan dasar bagi warga negara adalah gratis, tanpa biaya. Pasal-pasal dalam UU Sisdiknas, RUU BHP, dan RUU Wajib Belajar —– yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat—- telah membangun logika aparatur bahwa pemerintah bertanggung jawab separuh, dan separuh ditanggung oleh masyarakat.
Sampai saat ini arti ”ditanggung oleh masyarakat” adalah ditanggung oleh orangtua siswa. Akibatnya sekolah memungut berbagai iuran dan sumbangan kepada orangtua siwas. Pendidikan menjadi mahal dan hanya menyentuh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Anak-anak dari kelompok masyarakat miskin tak mampu membiayai sekolah. Atau mengalami problem psikologis dan sosiologis karena tuntutan biaya sekolah. Bunuh diri anak sekolah bukanlah menjadi perkara langka lagi. Media Indonesia mencatat sejumlah anak bunuh diri karena alasan sekolah ini:

Tabel 4:
Data Siswa Bunuh Diri Karena Biaya Sekolah
Tanggal Nama Umur Sekolah Motif
Juni 1997 Wartini 13 SD Samarinda Kaltim Malu dituduh nunggak uang SPP
Agustus 2003 Heryanto 12 SD Garut, Jawa Barat Gantung diri, malu tidak bayar uang keterampilan Rp 2.500 namun selamat
Juni 2004 Soleh 14
Orang tua tidak sanggup bayar ujian akhir. Selamat
Mei 2005 Eko Haryanto 15 Kecamatan Kramat, Tegal, Jateng Gantung diri, malu menunggak uang sekolah
Mei 2005 Jarwanto 16 SMP Kec Jatoroto, Wonogiri, Jateng Gantung diri, malu belum bayar SPP
Data Media Indonesia 22 Mei 2005 (Dari berbagai sumber)
Tidak ada data pasti tentang jumlah anak bunuh diri karena persoalan sekolah. Namun kasus yang dihimpun oleh Media Indonesia di atas, cukup mampu mengindikasikan sebuah gambaran betapa mengenaskan situasi pendidikan di Indonesia. Beban biaya yang ditanggung orang tua miskin dalam menyekolahkan anaknya sangat berat. Sang anak akhirnya mengalami persoalan psikologis dalam kaitan hubungan sosialnya di sekolah. Untuk itu cara yang dipakai pemerintah saat ini, membebankan pembiayaan pendidikan kepada orang tua siswa, tidaklah tepat.
Semua kebijakan bidang pendidikan yang dibahas di atas memperlihatkan sikap pragmatisme pemerintah SBY-Kalla. Pragmatis dalam arti bahwa pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelesaikan suatu masalah tanpa memperhatikan dampak lain yang mungkin lebih signifikan pengaruhnya. Soal percaloan buku di sekolah diatasi dengan membatasi masa pakai buku pelajaran yang justru mengancam kualitas pendidikan itu sendiri. Soal kualitas pendidikan melulu diatasi dengan ujian nasional tanpa memperhitungkan keragaman situasi dan kompleksitas dampak yang ditimbulkannya. Kekurangan dana pendidikan diatasi dengan membagi sekolah menjadi sekolah kaya (sekolah formal mandiri) dan sekolah miskin (sekolah formal standar) tanpa mempertimbangkan efek sosial yang bakal muncul.
Pragmatisme kebijakan pemerintah ini semakin kentara saat pemerintah mengambil kebijakan penyaluran Dana Kompensasi BBM bidang pendidikan sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Dana Kompensasi BBM Untuk Pendidikan
Sebagaimana diketahui pengurangan subsidi BBM mendapat protes keras dari masyarakat, karena akan mengakibatkan peningkatan biaya hidup masyarakat. Menanggapi protes keras masyarakat yang menentang pencabutan subsidi BBM, pemerintah beralasan bahwa subsidi BBM harus dicabut karena lebih banyak dinikmati oleh orang kaya. Akan lebih baik apabila subsidi ini dikurangi dan uang subsidi dikompensasikan bagi kepentingan rakyat miskin, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Untuk membuktikan konsistensi logika ini akhirnya pemerintah mengusulkan program penyaluran dana kompensasi BBM untuk pendidikan.
Kepada DPR awalnya pemerintah mengusulkan program penyaluran dana kompensasi BBM ini dalam bentuk pemberian beasiswa (Dana Bantuan Khusus Murid) bagi orang miskin. Menurut usulan pemerintah sebanyak 9,69 juta anak miskin di tingkat SD-SMA atau yang sederajat—baik yang berada di sekolah maupun putus atau tidak melanjutkan sekolah—akan mendapatkan bantuan. Besarnya beasiswa atau dana bantuan khusus murid (BKM) per siswa miskin yang sudah ada di sekolah tingkat SD sederajat Rp 25.000 per bulan. Sementara bantuan bagi siswa SMP sederajat Rp 65.000 per bulan, dan SMA sederajat Rp 120.000 per bulan untuk masing-masing siswa. Pihak sekolah, dalam hal ini Komite Sekolah, akan diserahi tugas untuk menyeleksi siswa yang layak mendapatkan beasiswa.
Pendidikan gratis menurut pemerintah adalah bahwa siswa tak mampu yang dibebaskan dari segala macam pungutan. Sedangkan siswa yang mampu, masih harus menanggung sebagian biaya pendidikan[10]. Mekanisme penyaluran beasiswa yang diusulkan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
Tim PKPS-BBM kabupaten/kota menentukan jatah murid penerima bantuan untuk masing-masing sekolah/madrasah. Beberapa indikator yang digunakan adalah jumlah siswadari keluarga pra sejahtera, besar iuran sekolah, jarak sekolah, dan indikator lokallainnya.
Tim pusat dan tim provinsi menentukan jatah murid penerima bantuan masing-masing kabupaten/Kota berdasarkan jumlah siswa, angka putus sekolah, angka melanjutkan, dan indeks kemiskinan kabupaten/kota
Tim PKPS-BBM sekolah/madrasah, masyarakat, dan aparat desa menyeleksi siswa penerima bantuan. Indikator yang dipakai, antara lain, berasal dari keluarga yang kurang mampu, bertempat tinggal jauh dari sekolah/madrasah, mempunyai lebih dari tiga saudara yang berusia dibawah 18 tahun, yatim dan/ atau piatu, dan pertimbangan lain misalnya cacat fisik, korban musibah berkepanjangan, atau anak dari korban PHK, dan indicator lokal lainnya.
Mekanisme penyaluran dana kompensasi BBM dengan beasiswa ini mendapat banyak kritik. Menurut mereka mekanisme demikian rawan beasiswa tidak tepat sasaran. Akhirnya usulan mekanisme beasiswa versi pemerintah ini menjadi perdebatan seru di Komisi X DPR. Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi Golkar, Anwar Arifin, mengingatkan agar pemerintah berpegang pada amanat UU Sisdiknas yakni menjamin pendidikan dasar bagi warga negara. Oleh karena itu Anwar Arifin lebih memilih agar dana kompensasi kenaikan BBM digunakan untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar bagi seluruh warga negara. Dengan demikian pemerintah tak perlu mencari anak-anak miskin untuk mendapatkan beasiswa. Orang miskin juga tak perlu repot mencari berbagai surat kemiskinan untuk mendapatkan beasiswa. Pasalnya model beasiswa sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya, seringkali bocor dalam pelaksanaannya.
Disisi lain pemerintah memiliki argumen yang berbeda[11]. Jika pendidikan dasar gratis dilaksanakan dan sekolah setingkat SD dan SMP dipukul rata tidak boleh menarik dana dari masyarakat, justru akan merugikan pendidikan itu sendiri. Pasalnya dengan melulu bergantung pada dana pemerintah sekolah hanya akan memiliki dana yang pas-pasan. Akibat selanjutnya sekolah tak akan dapat mengejar mutu yang lebih baik.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya DPR memutuskan untuk menolak model penyaluran dana kompensasi pengurangan subsidi BBM yang diusulkan pemerintah. Panitia Kerja DPR untuk APBN-P 2005 sepakat menghilangkan program beras untuk rakyat miskin (Raskin) dan beasiswa pendidikan demi menambah dana untuk sekolah gratis. Program pendidikan gratis ini akhirnya mendapatkna alokasi dana sebesar 6,2719 triliun lebih besar dari pengajuan pemerintah dalam bentuk beasiswa pendidikan yang sebesar Rp 5,6014 triliun.
Jumlah ini, nampaknya mengikuti alur kebutuhan sekolah gratis versi Bappenas. Menurut data Bapenas kebutuhan siswa SD mencapai Rp 102.000 per siswa per tahun dan Rp 315.000 per siswa per tahun untuk SMP. Tentu saja jumlah ini hanyalah mampu menutup biaya sebagian kebutuhan siswa. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Diknas pernah meneliti tentang kebutuhan siswa per tahun ini sebagaimana terlihat dalam data di bawah ini:
Tabel 5:
Biaya Pendidikan Siswa per Tahun
Jenis dan jenjang pendidikan Biaya Satuan Pendidikan Per Tahun(dalam ribu rupiah)
Buku dan ATS Pakaian & Perlengkapan sekolah Transportasi Karyawisata Uang Saku Iuran sekolah Total
SD 245,5 348,0 331,5 55,0 492,5 317,5 1.790,0
MI 200,5 298,5 215,0 42,5 374,0 150,0 1.280,5
SMP 264,0 346,5 374,0 64,5 646,0 501,5 2.196,5
MTs 183,0 318,5 242,5 57,0 495,0 296,5 1.592,5
Balitbang Depdiknas (Dikutip oleh Media Indonesia)
Dengan dana kompensasi BBM sebagaimana disebut sebelumnya, pemerintah hanya mampu menanggung sebagian kecil kebutuhan siswa saja. Pasalnya sekolah penerima biaya operasional hanya mampu menggratiskan antara lain formulir pendaftaran, buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan, biaya pemeliharaan, ujian sekolah, ulangan umum bersama, dan ulangan umum harian. Ini hanyalah kebutuhan pokok siswa.
Padahal kebutuhan siswa jauh lebih besar. Data Balitbang-Depdiknas 2004 memperkirakan bahwa jumlah kebutuhan siswa SMP mencapai Rp 501.500 per tahun. Kebutuhan secara total siswa SD per orang per tahun sebesar Rp 1.790.000 sementara untuk siswa SMP mencapai Rp 2.196.500 (lihat tabel di atas).
Dengan hanya menanggung sejumlah biaya pokok pendidikan orang tua murid masih harus menanggung biaya terbesar sekolah siswa. Orang tua siswa masih harus mengeluarkan uang untuk biaya seragam dan perlengkapan sekolah, transportasi, dan uang saku siswa. Siswa dari kelompok masyarakat miskin masih besar kemungkinannya tidak dapat bersekolah karena tidak memiliki biaya untuk menanggung biaya tambahan itu.
Dengan mekanisme penyaluran dana kompensasi BBM yang demikian justru kompensasi BBM akan salah sasaran. Sebagian biaya sekolah anak SD dan SMP, tak peduli miskin atau kaya akan mendapatkan subsidi. Padahal siswa kaya justru tak terlalu membutuhkan subsidi. Sementara di sisi lain siswa miskin, meski mendapat subsidi tetap akan membutuhkan dana lain seperti seragam, alat tulis, buku, transportasi, dan uang saku yang jumlahnya justru lebih besar dari biaya pokok iuran sekolah itu sendiri.
Dengan situasi keuangan negara sebagaimana saat ini, pendidikan gratis (benar-benar tanpa pungutan) tak mungkin dilakukan. Dengan ”menggratiskan” biaya pendidikan dengan mekanisme sebagaimana yang telah disepakati antara pemerintah dengan DPR tersebut justru memiliki kecenderungan merugikan bagi penduduk miskin. Bukan hanya mekanisme subsidi silang tak berjalan, namun dana yang seharusnya difokuskan untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi penduduk kalangan terbawah tak tercapai. Kebijakan sekolah gratis semacam ini akhirnya tak lain dan tak bukan merupakan jargon politik pemerintah saja.
Kalau pemerintah memang tidak mampu menanggungnya sendiri dan membutuhkan keterlibatan masyarakat, ada alternatif yang bisa dicontoh dari kasus di negara lain. Kasus di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tak selamanya berdampak buruk memberatkan beban orang tua. Sekolah di Amerika Serikat dibiayai oleh dana komunitas. Namun berbeda dengan di Indonesia, sekolah mendapatkan dana masyarakat melalui pembayaraan pajak masyarakat. Dengan demikian meski konsepnya sekolah dengan dana komunitas tetapi tidak memberatkan orang tua siswa sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Dengan cara ini orang yang kaya —yang pada akhirnya menjadi pembayar pajak tebanyak—menjadi penyumbang paling banyak untuk pendidikan. Anak orang kaya dan anak orang miskin dapat bersekolah di tempat yang sama, dengan kualitas yang baik karena dibiayai secara cukup oleh komunitas. Situasi ini membangun mekanisme subsidi silang antara warga yang kaya dan yang miskin.
Ketika pemerintah secara sendirian tak mampu menyelenggarakan sekolah gratis sebagaimana yang diamanahkan UUD’45 allternatif penyelenggaraan pendidikan komunitas model Amerika Serikat ini layak untuk dipertimbangkan. Pemerintah dan pemerintah daerah, misalnya, dapat mengalokasikan pajak untuk sektor-sektor tertentu langsung untuk membiayai pendidikan dan dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI: MENUJU REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA
Assessment di atas menunjukkan bahwa kebijakan bidang pendidikan dan kebijakan sosial lainnya cenderung dikesampingkan dibandingkan dengan kebijakan ekonomi. Alokasi anggaran pendidikan yang rendah, menjadi salah satu indikasi lemahnya kemauan politik pemerintah SBY-Kalla dalam mengembangkan pendidikan. Anggaran APBN sejauh ini hanyalah Rp 25,710 triliun, jauh lebih rendah dari amanah konstitusi yang mencapai 20 persen anggaran APBN.
Alokasi ini lebih rendah jika misalnya dibandingkan dengan dana yang dikucurkan untuk BLBI yang mencapai Rp 144 triliun. Demikian juga dana yang disediakan untuk penyediaan infrastruktur pengembangan ekonomi yang mencapai Rp 60 triliun per tahun selama lima tahun.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah cenderung menganggap pendidikan bukan sebagai prioritas utama dalam rencana pembangunannya? Hal ini tak lepas dari pengaruh kebijakan politik dan ekonomi makro yang diambil pada awal pemerintahan Orde Baru.
Pada waktu itu, untuk mensikapi kegagalan ekonomi dan kekacauan politik Orde Lama, pemerintahan Soeharto mencanangkan kebijakan Trilogi Pembangunan yang memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan stabilitas politik. Pertumbuhan ekonomi dikejar dengan asumsi adanya tricle down effect (efek penetesan ke bawah) yang diharapkan akan memberi efek pemerataan pendapatan lebih luas. Asumsi inilah yang mendorong pemerintah Orde Baru lebih memprioritaskan pada kebijakan pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengabaikan kebijakan-kebijakan yang bersifat sosial.
Meskipun paradigma ekonomi pertumbuhan tak memberi wujud nyata terciptanya efek menetes kebawah, namun nampaknya paradigma pembangunan ekonomi Orde Baru ini masih berpengaruh kuat pada pemerintahan SBY-Kalla. Hal ini terlihat dari rendahnya kemauan politik pemerintah untuk memprioritaskan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang pro percepatan pertumbuhan ekonomi.
Akibat kemauan politik pemerintah yang rendah dan minimnya dana, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam bidang pendidikan ini cenderung bersifat pragmatis. Pemerintah mengeluarkan PP pembatasan buku pelajaran sekolah minimal selama 5 tahun, tanpa mempertimbangkan bahwa ilmu pengetahuan berkembang sangat dinamis. Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Wajib Belajar Sembilan Tahun mengandung pasal-pasal pengingkaran tanggung jawab negara menyelenggarakan pendidikan dasar, dengan memberi porsi tanggung jawab yang sama kepada orang tua siswa. Pemerintah juga begitu saja membagi dua jalur pendidikan menjadi sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar, semata karena alasan keterbatasan sumber dana. Hal ini dilakukan tanpa memperhitungkan efek samping pengelompokan itu sendiri yang akan memberi label resmi bagi si miskin.
Demikian juga manakala mendapatkan kesempatan untuk menggunakan dana kompensasi BBM, pemerintah justru mengambil kebijakan yang kurang tepat. Dana kompensasi BBM digunakan untuk kebijakan populis ”menggratiskan pendidikan”. Padahal substansi dari kebijakan pendidikan gratis tersebut hanyalah memberikan subsidi pada sebagian kecil kebutuhan sekolah siswa.
Justru kebijakan ”sekolah gratis” tersebut punya potensi kesalahan yang lebih besar daripada mekanisme beasiswa. Dengan keterbatasan dana pemerintah, kebijakan sekolah gratis justru malah memberi subsidi kepada setiap siswa tidak peduli kaya atau miskin. Suatu kebijakan yang sangat aneh karena siswa kelas menengah ke atas sebenarnya tidak terlalu membutuhkan subsidi. Sementara dengan subsidi yang hanya sedikit, siswa miskin masih membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai pendidikannya. Akibatnya kebijakan ”sekolah gratis” tak akan mampu secara efektif meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan.
Walaupun mekanisme penyaluran dana kompensasi BBM melalui program beasiswa banyak menuai kritik[12], bukan berarti mekanisme ”sekolah gratis” yang saat ini ditawarkan oleh pemerintah bersama dengan DPR adalah alternatif yang lebih baik. Pasalnya mekanisme sekolah gratis justru akan memboroskan dana pemerintah untuk membiayai kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak terlalu membutuhkan bantuan. Mekanisme penyaluran beasiswalah yang secara paradigmatik tepat karena hanya diperuntukkan bagi siswa miskin yang benar-benar membutuhkan bantuan biaya pendidikan.
Bahasan kebijakan dan permasalahan di atas membawa sejumlah rekomendasi berikut layak dipertimbangkan;
  1. Diperlukan perubahan paradigma pembangunan dari yang berorientasi ekonomi pertumbuhan semata, menuju ke kesejahateraan sosial. Pemerintah SBY-Kalla semestinya lebih memberi prioritas pada masalah pendidikan dan masalah sosial lainnya. Salah satu cara yang harus segera ditempuh adalah dengan memberi alokasi anggaran APBN yang lebih besar.
  2. RPJM merekomendasikan target pembangunan pendidikan Indonesia sampai 2009 adalah ”meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan”. Selama ini mutu sekolah formal banyak dipertanyakan karena model pengajaran yang kaku dan instruksional, anak didik terlalu banyak dibebani pelajaran-pelajaran tambahan, pekerjaan rumah, dan kegiatan-kegiatan sekolah yang tidak substansial. Akibatnya siswa ketika lulus dari sekolah tidak bisa mengaplikasikan pelajarannya secara langsung dalam masyarakat. Oleh karena itu semestinya dibuka wacana baru untuk mengubah paradigma pendidikan formal di Indonesia. Selain itu pemerintah semestinya mengakomodir pendidikan di luar sekolah formal yang justru secara mutu terbukti lebih baik seperti sekolah komunitas[13], dan sekolah di rumah atau ”home schooling”.
  3. Demi mengejar mutu pendidikan yang lebih baik dan manusiawi ini maka kebijakan pragmatis mengelompokkan sekolah menjadi dua jenis (sekolah formal mandiri dan sekolah formal strandar) tidak boleh dilakukan. Pembagian dua jalur ini secara serius mempengaruhi proses pendidikan karena cenderung diskriminatif terhadap kelompok yang dikatakan sebagai standar. Apabila pemerintah memang menghadapi keterbatasan dana untuk bidang pendidikan lebih baik secara terbuka membangun sistem keterlibatan masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan.
  4. Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Wajib Belajar Sembilan Tahun nampaknya ingin melibatkan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan karena kesadaran akan terbatasnya dana pemerintah. Namun isi dari RPP ini justru membebankan biaya pendidikan bukannya kepada masyarakat sebagai sebuah komunitas namun hanyalah orang tua siswa. Akibatnya pendidikan dasar di Indonesia menjadi mahal karena subsidi pemerintah yang rendah, dan orang tua siswa harus menanggung sebagian besar pembiayaan. Dalam situasi seperti ini lapisan masyarakat termiskin adalah pihak yang paling tidak beruntung. Rekomendasi yang diajukan untuk permasalahn ini adalah memperluas makna masyarakat bukan hanya dimaknai sebagai orang tua siswa namun adalah komunitas. Komunitas dapat menyumbangkan untuk biaya sekolah para siswa sekolah melalui pajak, dengan demikian akan muncul subsidi silang karena mereka yang kaya akan menyumbang lebih banyak dibanding mereka yang miskin. Pemerintah dapat menentukan pajak apa saja yang dapat secara langsung dialokasikan ke dana pendidikan.
  5. Kebijakan tentang pembatasan buku pelajaran minimal selama lima tahun kurang bertentangan dengan tujuan RPJM meningkatkan mutu pendidikan. Alasannya, kebijakan ini justru mengancam mutu pendidikan di Indonesia yang saat ini saja sudah rendah. Sebaiknya pemerintah memperkuat monitor terhadap perkembangan buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan untuk menjaga mutu pendidikan. Di sisi lain pemerintah juga wajib memberikan subsidi bagi penerbitan buku-buku sekolah. Untuk menghindari praktek percaloan buku di sekolah pemerintah sebaiknya menerbitkan buku-buku paket gratis dan mengatur pendistribusiannya ke sekolah-sekolah.
  6. Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kesejahteraan guru. Untuk ini pemerintah telah membuat aturan mengangkat guru sebagai pekerja profesional dan meningkatkan penghasilan guru PNS. Upaya pemerintah ini patut diikuti dengan pengembangan mutu guru. Selain itu patut diperhatikan juga nasib ratusan ribu guru bantu dan guru honorer yang tersebar di seluruh Indonesia.
  7. Kebijakan tentang ujian nasional semestinya dilakukan dengan hati-hati. Sebelum menetapkan ujian nasional sebaiknya pemerintah membenahi kualitas pendidikan termasuk untuk daerah-daerah terpencil, sebelum menentukan adanya ujian nasional.

Daftar Pustaka
Buku
Akhmadi et al. 2003.
Pengamatan Cepat Smeru Tentang Permasalahn Pendidikan dan Program JPS, Beasiswa, dan DBO di Empat Propinsi. Jakarta: SMERU.
……………… 2004.
Laporan Penelitian: Penyelenggaraan Guru Bantu. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Suharto, Edi. 2005.
Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Supriadi, dedi. 2000.
Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita.
—————-. 2005.
Semua Bisa Seperti Jembrana. Jakarta: Yayasan Tifa.
Kartono, St. 2002
Menebus Pendidikan yang Tergadai. Yogyakarta: Galang Press.
Toyamah, Nina dan Usman, Syaikhu. 2004.
Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar. Jakarta: SMERU.
Valdes, Julio Carranza and Paz, Juan Valdez.
Institutional Development and Social Policy in Cuba dalamJournal of International Affair, Fall 2004 V 58 No 1
Wiratama, I Made dan Djadijono, M.
Carut Marutnya Wajah Perpolitikan Indonesia Pasca ilpres 2004 dalam Analisis CSIS Vol. 33, No 4 Desember 2004.
Makalah/Paper
Abduhzen, Mohammad. 2005.
Menyoal Fungsi Negara terhadap Pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004
Rencana Strategis Nasional 2005-2009. Jakarta: Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Rencana Peraturan Pemerintah Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Koran
Program Profesionalisasi Guru Perlu Diperjelas, Kompas Jum’at 28 Januari 2005
Pembatasan Masa Pakai Buku Pelajaran Tidak Selesaikan Masalah, Kompas Rabu 26 Januari 2005
Pemerintah Harus Rumuskan Langkah Konkret, Kompas Selasa 26 Oktober 2004
RPP Wajib Nelajar Masih Potensial Memperbesar Angka Putus Sekolah, Jum’at 13 Mei 2005
Depdiknas Tetap Gelar Ujian Nasional, Kompas Selasa 29 Maret 2005
Diragukan, Komitmen Penguasa Memajukan Rakyat. Kompas, Selalas 3 Mei 2005
Menghadapi Ujian Nasional, Biaya Sekolah Cenderung naik. Kompas Senin 16 Mei 2005
UN Tak Tingkatkan Mutu Pendidikan. Komas, Rabo 26 Januari 2005
Pelaksanaan Ujian Nasional Hanya Pemubaziran Anggaran. Kompas, Jum’at 28 Januari 2005
Ujian Nasional Jalan Terus. Kompas, Senin 31 Janurai 2005
Kategorisasi Jalur Pendidikan, Hanya Untuk Pemetaan. Kompas, Jum’at 27 Mei 2005
Perubahan Skenario UN Membingungkan Guru, Kamis 31 Maret 2005
Pendidikan Gratis, Hak Dasar warga Negara, Kompas Rabu 30 Maret 2005
Perlu Hati-Hati Menyikapi Rencana Pendidikan SD Gratis. Kompas, Sabtu 26 Maret 2005
Terkait Peruntukan Dama Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM, DPR Tolak Usulan Yang Diajukan Pemerintah. Kompas, 3 Maret 2005
Pendidikan Nasional Akan Dibawa ke Mana? Suara Pembaharuan, Rabo 4 Mei 2005
Meningkatkan Kompetensi Guru. Sinar Harapan, Rabu 15 Juni 2005

[1] Fazli Jalal, dalam presentasinya di FGD Pendidikan Dasar TII The Indonesian Institute 17 Mei 2005
[2] Wawancara dengan Dirjend Disdakmen
[3] Terungkap dalam FGD Pendidikan Dasar, The Indonesian Institute
[4] Ki Supriyoko sebagaimana dikutip Kompas, 26 Januari 2005
[5] Survei LP3ES 5 Juni 2005
[6] Dachnel Kamars, pakar manajemen pendidikan, sebagaimana dikutip oleh Kompas (Rabo 26 Januari 2005) mengatakan bahwa melakukan standardisasi yang benar tidak mudah dan sangat mahal.
[7] Fasli Jalal, FGD The Indonesian Institute
[8] Pembagian dua jalur pendidikan ini bermaksud untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam RPJM. Efektifitas dan manajemen pelayanan pendidikan diukur dengan seberapa efektif pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, meningkatnya anggaran pendidikan dari APBN dan APBD, serta meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Khusus program ”memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang terjangkau pendidikan” diberi titik tekan dalam Program 100 Hari SBY-Kalla. Kebijakan ini dilakukan dengan merumuskan kebijakan SPP dengan sistem subsidi silang disertai dengan governance yang baik.
[9] Eko Purwono sebagaimana dikutip oleh harian Kompas 26 Mei 2005
[10] ”Kalau SPP SD dan SMP gratis disetujui oleh Panitia Anggaran, bukan berarti siswa sama sekali tidak lagi menanggung pembiayaan pendidikan” Mendiknas(Sinar Harapan, Selasa, 17 Mei 2005).
”Inilah cara kami menerjemahkan pendidikan gratis. Maksudnya, siswa dari keluarga miskin di jenjang SD-SMP atau yang sederajat tidak dikenai pungutan” Kata Mendiknas Bambang Sudibyo (Kompas, Selasa 17 Mei 2005).
[11] Fasli Jalal (Depdiknas) dalam FGD tentang Pendidikan Dasar di The Indonesian Institute
[12] Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance, M. Fadhil Hasan, sebagaimana ditulis Kompas (Sabtu, 26 Maret 2005) mengatakan bahwa berdasarkan riset efektivitas penggunaan dana kompensasi BBM untuk masyarakat miskin hanya mencapai 30 persen-nya saja. Sebabnya, kebijakan yang diskriminatif (hanya kepada kelompok masyarakat tertentu) menimbulkan kompleksitas dalam pelaksanaannya sehingga hanya 30 persen golongan masyarakat miskin yang menerima dana tersebut.
[13] Sekolah komunitas ini misalnya dapat diketemukan pada sekolah SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di Kalibening, Slatiga Jawa Tengah. Paradigma yang dikembangkan dalam sekolah ini adalah ”belajar sambil bermain”. Mereka dapat belajar sambil bergurau, bebas mau duduk di meja atau di lantai. Dengan paradigme belajar semacam ini terbukti siswa-siswa sekolah Qaryah Thayyibah mendapatkan nilai rata-rata lebih baik dibandingkan dengan sekolah induknya (Kompas, Rabu 23 Maret 2005).

Rabu, 25 Mei 2011

SIKAP KRITIS GURU SANGAT DINANTI

Oleh Ari Kristianawati, S.Pd (Guru SMA N 1 Sragen Jawa Tengah, Anggota Agupena Jawa Tengah)
Peningkatan kesejahteraan guru, khususnya guru yang telah lulus program sertifikasi profesi memunculkan sentimen dari berbagai kalangan. Perolehan tunjangan sertifikasi dua kali standar gaji pokok, memunculkan perasaan cemburu. Bukan hanya sesama guru se profesi yang berstatus tenaga honorer atau guru swasta dari yayasan yang “miskin’, namun banyak kelompok PNS tenaga teknis/struktural yang dilanda cemburu karena beda pendapatan.

Guru berstatus PNS yang lulus program sertifikasi minimal per bulannya akan mengantongi pendapatan 4,5 juta sampai 5,5 juta rupiah. Belum termasuk tunjangan bagi guru yang berada dilokasi terpencil, serta tunjangan unit satuan kerja. Meski dalam kenyataan sebenarnya, angka “lumayan” pendapatan guru berlabel profesional tersebut tidak diterimakan setiap bulan. Namun ibarat mengikuti alur birokrasi anggaran, diterimakan guru dalam periode tertentu yang jumlahnya sulit diprediksi oleh para guru sendiri.
Meningkatnya pendapatan guru yang sejalan dengan beban edukatif yang disandangnya, adalah “jasa” dari gerakan guru paska reformasi yang berani memperjuangkan hak-haknya secara terbuka atas prinsip solidaritas. Tentu saja mendapatkan dukungan dari berbagai komponen peduli guru termasuk media, yang menyuarakan nasib guru. Guru paska reformasi memang memainkan peran subjektinya, guru berani memperjuangkan program kolektif yang menjadi keyakinan bersama.
Sayangnya irama perjuangan guru, diluar mainstream menuntut penghargaan hak ekonominya guru kurang optimal dalam memperjuangkan apa yang dinamakan ‘program mendesak” peningkatan standar kualitas pendidikan nasional. Guru masih menjadi “robot’ yang menjalankan kebijakan dan isu politik pendidikan yang sesuai dengan tafsir dan kepentingan kekuasaan.
Guru tetaplah menjadi robot kurikulum dan berbagai proyek-proyek berbiaya mahal yang mengatasnamakan gagasan peningkatan indeks kualitas pendidikan nasional. mayoritas guru menjadi silent Community (Mayoritas diam) ketika negara—melalui depdiknas/kemdiknas—-getol menyelenggarakan ajang Ujian Nasional (UN) yang konon seagai alat mengukur kepintaran anak didik. Guru juga berdiam diri dan bahkan banyak yang gembira (tanpa memahami substansi) ketika ada program internasionalisasi pendidikan melalui skema program RSBI/SBI.
Guru tidak juga menjadi mayoritas kritis ketika DPR dan pemerintah menyetujui dengan setengah hati pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN. padahal guru seharusnya menjadi pengawal skenario, program, evaluasi penyerapan anggaran agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. karena dalam fakta dan realitas, seberapa besar anggaran yang dikucurkan untuk sektor pendidikan penyerapan terbesar untuk kepentingan birokrasi dan tidak menyentuh esensi program pendidikan murah yang berkualitas bagi masyarakat.
Tidak mengherankan apabila indeks korupsi yang dicatat lembaga pemonitoring korupsi semacam ICW, Tranparancy, KPK menempatkan sektor pendidikan menjadi wilayah rawan korupsi anggaran. Bahkan riset ICW yang sering dilansir dimedia, menyebutkan korupsi didunia pendidikan menyentuh “jantung’ lembaga edukatif yakni sekolah. padahal sekolah adalah arena bagi guru untuk menyampaikan materi dan pitutur ber-integritas.
Guru puluhan tahun silam dimitologisasi sebagai sosok pengabdi—-OEMAR BAKRIE dalam syair lagu populer Iwan fals—-yang tidak mengharap rupiah dan balasan atas pekerjaan mulia yang dilakukan. para guru mengajar dengan keikhlasan dan kesungguhan tanpa memperhitungkan imbalan. Output pengajaran guru masa lalu, benar-benar nyata dan hal tersebut dirasakan oleh para siswa.
Kini muncul stereotype masyarakat bahwa guru-guru saat ini minim kecakapan dan ketulusan mengajar namun surplus penghasilan. Benarkah demikian? tentu indeks kepuasan masyarakat dalam berbagai riset sebagai jawaban sahihnya. Para Guru saat ini memang mengalami fase demitologisasi. para guru tidak lagi dilekati label “pahlawan tanpa tanda jasa’, “pengabdi dan pemikir’ dan sebagainya.
Demitologi adalah bagian dialektika sejarah. Hal tersebut di antitesakan oleh kondisi objektif yang perkembangan komersialisasi pendidikan yang menjadikan guru ibaratnya hanya sebagai ‘pekerja” dan institusi pendidikan sebagai pabrik atau unit usaha yang menghasilkan untung bagi sang empunya. realitas subjektifnya adalah standar kualitas guru dalam kompetensi mengajar tidak berkarakter sebagaimana para guru dimasa lalu. Memang banyak guru yang kini bergelar S2 bahkan S3 namun, standar intelektual mereka belum atau bahkan tidak teruji karena sebagian besar tidak menghasilkan karya intelektual utama (magnum orpus).
Kemunculan komunitas minor yang cerdas dan kritis dikalangan guru, seperti deretan aktifis guru yang telah berhasil membangun organisasi guru “baru” dan independen, guru penulis dan pemikir, guru yang relawan sosial, guru yang menjadi pemimpin sosial tidak cukup menjadi lokomotif perubahan karakter, integritas dan kualitas guru. Padahal masyarakat sangat mengharapkan guru menjadi kekuatan intelektual edukatif yang mencerdaskan dan membuat kesadaran humanis para siswa.
Pengembangan kualitas guru tidaklah hanya bisa ditempuh dengan program up-grading guru bernuansa proyek. Namun perlu “revolusi” mentalitas guru. Revolusi mentalitas guru yang dibutuhkan adalah adanya proses perubahan kultur feodalistik menjadi emansipatorik dikalangan guru dalam aktivitas pembelajaran. kemudian juga diperlukan penguatan keyakinan ideologis guru bahwa mereka adalah agen perubahan.
Guru dan beragam organisasi guru sudah seharusnya tidak menjadi bagian dari pemroduksi kebijakan pendidikan nasional yang abai akan hak publik. Seperti dalam mendukung program pendidikan yang beraroma komersialisasi yang pro pasar. Guru dan organisasi guru seharusnya menjadi kekuatan oposisi kritis kebijakan pendidikan. Menyampaikan pemikiran kritisnya untuk kebaikan program pendidikan bagi semua (education for all).
Guru tidak seharusnya menjadi kekuatan sosial pendukung gagasan kemapanan yang anti keadilan, khususnya dalam merespons arus kapitalisasi pendidikan yang menyingkirkan aksesibilitas hak masyarakat miskin. Para guru yang terdemitologi seharusnya kini bisa menjalankan tugas, pokok dan fungsi dalam semangat dan kultur baru. Guru harus kembali menjadi komunitas pendidik yang haus ilmu pengetahuan. Selalu belajar dan mencari sumber ilmu pengetahuan.
Berani pula merombak metodologi pembelajaran dalam kerangka yang egaliter, kritis dan mandiri. Guru tidak boleh terus menerus menjadi “robot” kurikulum serta pendukung proyek peningkatan pendidikan yang anti nalar. Demitologi guru adalah sesuatu yang menguntungkan bagi upaya merevitalisasi peran guru. Guru sebagai pengajar, pendidik, pamomong generasi muda dan masyarakat.