Senin, 30 September 2013

KESAKTIAN PANCASILA

Hari ini, 1 Oktober 2013, bangsa Indonesia memperingati hari kesaktian Pancasila. Jangan salah persepsi, jangan salah penafsiran. Kesaktian Pancasila disini hanya istilah. bukan Pancasila sakti seperti saktinya keris milik Damar Wulan tokoh dalam cerita Majapahit yang melegendaris, namun kesaktian disini lebih bermakna bahwa bangsa Indonesialah yang menjaga "keskatian Pancasila". Tahu maksudnya?
Begini, Pancasila sebagai ideologi bangsa, harus terus dijaga oleh segenap bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila -Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia- harus diamalkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kalau tidak diamalkan, bukan tidak mungkin Pancasila menjadi lemah dan hilang kesaktiannya. Hehehe... mau? Tentu tidak, bukan?
Kalau kita masih menghendaki Pancasila tetap "sakti", mari kita amalkan pancasila secara totalitas. Jangan setengah-setengah.
Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kita bangsa Indonesia, harus bertakwa kepada Tuhan. Pemeluk agama apapun, harus mengamalkan ajaran dan petunjuk agama masing-masing. Ketkwaan bangsa Indonesia sangat diharapkan untuk memperbaiki bangsa dan negara ini yang disinyalir karena banyak dari bangsa Indonesia ini yang mulai menjauh dari Tuhan. Masalah ketakwaan ini menjadi sangat penting untuk dimasyarakatkan kepada seluruh warga Indonesia. Sebaliknya, peng-abaian, terhadap ketakwaan akan menyeret kehancuran bangsa dan negara. Mau coba? Eh, jangan coba-coba! Perilaku koruptor selama ini sudah merupakan percobaan terhadap penghancuran bangsa dan negara. Jangan ditambah-tambahi.
Kedua; Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bagi bangsa Indonesia, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Tidak boleh ada praktik penindasan, eksploitasi seseorang kepada orang lain dengan dalih apapun. Pemanusiaan manusia benar-benar diupayakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dalam masyarakat terjadi kehidupan yang tenteram karena hubungan satu sama lain didasari adab yang tinggi. Yakni nilai keadilan benar-benar terwujud dan bisa dirasakan oleh setiap anggota masyarakat.
Ketiga: Persatuan Indonesia
Persatuan dalam bingkai NKRI harus menjadi sesuatu yang dicita-citakan oleh setiap penduduk. Dengan demikian, akan muncul sikap dan tindakan yang mengarah terwujudnya persatuan dalam setiap komunitas muali dari lingkup terkecil sampai lingkup yang luas (nasional). Untuk lebih bisa merasakan betapa perlunya persatuan ini, maka masing-masing anggota masyarakat harus menganggap bahwa Indonesia ini adalah rumah kita, tempat kita tinggal bersama dengan anggota keluarga yang lain.
Keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Pancasila masih dikatakan sakti, kalau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih mengedepankan sifat-sifat kerakyatan. Lebih jelasnya, segala sesuatu yang dituju dalam pembangunan itu adalah untuk kepentingan rakyat banyak. Bukan untuk kepentingan penguasa. Oleh karena itu penguasa/pemerintah harus memimpin secara bijaksana dan bermusyawarah dalam mengambil kebijakan yang sifatnya strategis.
Kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disinilah letak kesaktian yang lebih terasa, jika rasa keadilan bisa terwujud dalam kehidupan sosial. Bukan pada masyarakat tertentu saja, semua lapisan masyarakat bisa merasakan adanya keadilan dalam kehidupan. Keadilan dalam ekonomi, hukum, layanan sosial, layanan kesehatan, layanan pendidikan, layanan informasi dan kesempatan yang sama dalam berusaha.

Nah, jika indikator-indikator tersebut belum nampak dalam kehidupan sehari-hari, maka kita perlu merenung lebih dalam lagi berkaitan dengan peringatan hari kesaktian Pancasila. Mengapa? jawabnya karena kita tidak ingin Pancasila yang begitu hebat itu ternyata keropos tidak berisi. Mari kita jaga Pancasila dasar negara kita ini untuk betul-betul kuat dan sakti!

Jumat, 12 Juli 2013

PARASIT EKONOMI

Oleh: Mukhaer Pakkanna
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta


Kendati dua lembaga pemeringkat internasional telah menyematkan gelar investment grade dengan rating BBB- oleh Fitch Rating dan gelar peringkat utang Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3 dengan prediksi stabil oleh Moody’s Corporation, ada satu pertanyaan tersisa, yakni, siapkah Indonesia mengelola gelontoran dana investasi global jika benar-benar efek rating membanjiri invetasi di Tanah Air?
Memang, pengelolaan anggaran Negara baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun pihak asing (utang dan investasi), selama ini dihambat keruwetan pola birokrasi dan perilaku budaya politik yang kurang transparan dan akuntabel. Konsekuensinya, berapapun realisasi anggaran yang dikelola Negara dan swasta kerap kali ketelingsut oleh pola dan perilaku itu. Banyaknya pungutan liar (pungli), seperti laporan utama Republika, Selasa, 14 Februari 2012 mengonfirmasi dan menegaskan perilaku itu.
Pada dekade 1980-an, Sumitro Djojohadikusumo melansir, kebocoran anggaran Negara mencapai 30% setiap tahunnya. Di sisi lain, riset CIDES pada akhir 1990-an juga menyampaikan, biaya produksi perusahaan hampir 30% tidak berkait langsung dengan ongkos produksi riil, tapi lebih banyak berkaitan pungli, yang menimbulkan high cost economy.
Bahkan, hingga detik ini pun, potensi kebocoran APBN terus menggelayut. Hasil audit BPK (2011) melansir, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa.  Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008, melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.
Maka, berapa pun besaran dana baik bersumber dari hasil investasi asing, swasta, utang luar negeri, maupun sumber dana negara, menjadi penting dicermati di tengah  masih tingginya parasit (benalu) ekonomi nasional. Menjadi pertanyaan, sejauhmana efektifitas anggaran itu jika parasit masih bercokol kuat?
Parasit Ekonomi
Dalam ilmu tumbuhan, parasit dimaknakan sebagai jenis relasi simbiosis antara organisme dari spesies berbeda, yang menumpang makan dan mengorbankan tuan rumah.  Dalam terminologi Yunani, parasit berarti parasitos, “orang yang makan di meja lain”. Dalam konteks sosial, parasit sosial dimaknakan mengambil keuntungan dari interaksi antara anggota organisme sosial, yakni manusia, sistem sosial, kelembagaan, aturan, dan lainnya. Manusia sebagai bagian organisme sosial, kerap kali paling lihai memanfaatkan peluang, bahkan bisa saling membunuh di antara mereka. Parasit sosial berarti mematikan organisme lain (tuan rumah) demi keuntungan atau manfaat pribadi.
Maka, dalam konteks kegiatan ekonomi, parasit ekonomi  diartikan bukan sekadar bersifat strukural, tapi juga kultural.  Parasit ekonomi yang bersifat struktural diartikan, parasit yang dikonstruksi melalui produksi kebijakan oleh institusi yang memiliki kuasa dan uang, misalnya, pemerintah, pengusaha kakap, legislatif, pemburu rente, dan yudikatif.  Demi kepentingan pembiayaan politik misalnya, institusi kekuasaan ini memproduksi kebijakan ekonomi, yang justru bisa menciderai laju akselerasi ekonomi. Tidak mengherankan, jika banyak kebijakan yang diproduksi  justru meningkatkan high cost economy.
Di sisi yang lain, parasit ekonomi yang bersifat kultural, diartikan sebagai sikap mental (mindset) yang sudah mengkristal dalam perilaku masyarakat (habits), yang justru menghambat optimalisasi potensi ekonomi. Sikap  malas, kurang disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan produktivitas rendah, merupakan bagian parasit ekonomi yang sifatnya kultural. Konsekuensinya, entropi ekonomi menjadi rendah. Entropi ekonomi diartikan sebagai derajat ketidakteraturan dalam mengelola ekonomi yang disebabkan mindset masyarakat  yang kurang menghargai produktivitas dan kekuatan kolegialitas masyarakat. Semakin tinggi entropi ekonomi, semakin rendah laju percepatan, keadilan, dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Mengenyahkan
Parasit ekonomi merupakan musuh utama dalam membangun daya saing ekonomi. Karena itu, ia harus segera dienyahkan. Melihat anatomi parasit ekonomi terpeta dalam parasit struktural dan kultural, setidaknya pada aspek struktural, yang perlu dilakukan, pertama, mengeyahkan inefisiensi birokrasi.  Pungli yang masih berseliweran dari hulu ke hilir menyebabkan pelaku usaha harus terbebani dengan tambahan biaya produksi. Ditambah lagi birokrasi perizinan usaha.
Jika Singapura dan Thailand membutuhkan waktu 3 hari untuk mengurus perizinan untuk membuka usaha baru, Indonesia justru 60 hari. Laporan Kegiatan Bisnis di Indonesia 2012 oleh International Finance Cooperation (IFC) dan World Bank, biaya rata-rata yang disyaratkan  dalam hal mendirikan usaha di 20 kota di Indonesia sebesar 22 persen dari pendapatan per kapita. Biaya notaris adalah yang terbesar. Nilainya bisa separuh dari total biaya.
Kedua, mengenyahkan gurita korupsi. Mengonfirmasi laporan akhir tahun PPATK (2011) bahwa selama tahun 2011 terkuak, dari jumlah total 175 laporan dugaan tindak pidana korupsi, sebanyak 50,3 persen dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian, dari 175 laporan dugaan tindak pidana korupsi itu, ada 42 kasus dengan jumlah nominal di bawah Rp 1 miliar per transaksi. Dan, 70 kasus dengan jumlah nominal Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar per transaksi, serta ada 33 kasus dengan jumlah nominal Rp2 miliar sampai Rp3 miliar per transaksi. Ini menandakan, serangan utama untuk mengenyahkan gurita korupsi, terletak pada aparat birokrasi pemerintahan, yang juga kerap “berselingkuh” dengan kuasa uang dan kuasa politik.
Ketiga,  pada aspek kultural, diperlukan pengenyahan entropi budaya (Ginanjar, 2012), yakni menekan derajat ketidakteraturan nilai-nilai yang semakin pragmatis, myopic, dan instant. Nilai-nilai seperti ini mendestruksi produktivitas, daya saing, dan sprit kolegialitas masyarakat. Masyarakat akhirnya cenderung nafsi-nafsi. Karena itu, diperlukan penanaman dan kritalisasi nilai-nilai religiusitas, yang tidak saja bersifat normatif, tapi diperlukan nilai-nilai yang kompatibel dan aplikabel dengan realitas. Maka, ruang pendidikan formal, informal, dan nonformal membutuhkan contoh dalam ucapan, laku, dan keteladanan.
Pada akhirnya, parasit ekonomi yang menghambat akselerasi kesejahteran dan keadilan ekonomi masyarakat, hanya bisa dipotong jika Indonesia memiliki strong leadership.

Dicopas dari:
http://mohammadwasil.dosen.narotama.ac.id/2013/05/03/parasit-ekonomi/#sthash.Sz9rbPPs.dpuf

Selasa, 23 April 2013

Every living thing must grow, Selamat datang Provinsi Kalimantan Utara


Perubahan terus terjadi. Ini merupakan hal yang pasti, sehingga jangan kaget jika jumlah provinsi di Negara kita juga berubah. Ya, kalau kemarin kita mengenal jumlah provinsi di Negara kita 33 provinsi, kini tambah satu lagi menjadi 34. Provinsi Kalimantan Utara, ingat sekali lagi , Kalimantan Utara merupakan provinsi ke-34.
Sebagai sebuah negara pertumbuhan sepertinya wajar. Seperti sebuah ungkapan lama, 'every living thing must grow', bahwa setiap mahluk hidup pasti tumbuh. Bila tidak tumbuh, mahluk itu tidak hidup. Begitu juga dengan Indonesia sebagai sebuah negara yang di dalamnya terdapat banyak kehidupan dan warna warni budaya.
Dilihat dari jumlah populasi saja, bisa anda bayangkan, berapa ledakan populasi penduduk di negeri ini. Rhoma Irama pernah menyebut jumlah penduduk Indonesia 175 juta pada periode 1990-an. Tetapi hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia sekitar 206 juta. Kemudian pada 2006 menjadi 222 juta, dan 2010 meledak menjadi 237 juta.

Lalu bagaimana dengan jumlah provinsi? Dulu, pada awal kemerdekaan 1945, Indonesia hanya memiliki 8 provinsi sebagai berikut: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Karena roda zaman terus berubah, beriringan dengan tumbuhnya jumlah penduduk dan pengetahuan, maka jumlah provinsi pun bertambah.

Pada periode pemerintahan Presiden Soekarno, pemekaran pertama kali dilakukan ada 1950. Waktu itu jumlah Provinsi di Indonesia bertambah dari 8 menjadi 11, kemudian menjadi 13 pada 1956, menjadi 16 pada 1957, menjadi 20 pada 1959, dan menjadi 21 pada 1960. Berikutnya jumlah provinsi kembali bertambah menjadi 22 pada 1963, menjadi 23 pada 1964, dan terakhir menjadi 25 pada 1967. 

Pada 1968 pemerintahan berganti dari orde lama ke orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Waktu itu jumlah provinsi kembali dimekarkan menjadi 26 pada 1968, kemudian menjadi 27 pada 1976. Provinsi terakhir yang mengalami pemekaran pada pemerintahan Soeharto adalah provinsi Nusa Tenggara Timur yang terbagi menjadi dua; Nusa Tenggara Timur dan Timor-timur.

Soeharto dipaksa turun lewat gerakan reformasi 1998. Setahun kemudian, pada masa pemerintahan Presiden Habibie, provinsi Timor-timur melepaskan diri dari Indonesia. Dengan demikian jumlah provinsi berkurang satu, sehingga menjadi 26. Namun pada tahun itu juga, ada beberapa provinsi yang mengalami pemekaran sehingga menjadi 29. 

Adapun provinsi yang mengalami pemekaran pada 1999 adalah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi dua, menjadi Provinsi Maluku dan Maluku utara, serta Provinsi Irian Jaya dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Irian Jaya barat. Kemudian pada tahun 2000, masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, jumlah provinsi menjadi 32 yaitu; Provinsi Sumatera Selatan dimekarkan menjadi Sumatera selatan dan Bangka Belitung.

Sementara itu, Provinsi Jawa Barat berkembang menjadi 2 yaitu Jawa barat dan Banten. Sedangkan Provinsi Sulawesi Utara berkembang menjadi 2 yaitu Sulawesi utara dan Gorontalo. Berikutnya pada tahun 2002, masa Pemerintahan Presiden Megawati, jumlah provinsi di Indonesia bertambah menjadi 33. Provinsi yang dimekarkan adalah Provinsi Riau menjadi Riau dan Kepulauan Riau.

Adapun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak menjabat pada periode pertama 2004-2009 dilanjutkan periode ke dua 2009-2014, dia baru memekarkan satu provinsi terakhir, yakni Kalimantan Timur dipecah menjadi Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi ke 34 dengan 11 kabupaten itu. Provinsi ini diresmikan Menteri Gamawan Fauzi.

Selasa, 22 Januari 2013

La Nina dan El Nino

Musim penghujan yang kali ini disertai angin kencang banyak membawa petaka di sana sini. Banyak diantara kita yang mengeluh dan ada juga yang kemudian menyalahkan alam (seperti yang kita lihat di TV, siapa tuh , yang marah-marah pada alam?!). Namun sesungguhnya kita tidak patut menyalahkan alam, apalagi menyalahkan Tuhan. Wah, salah besar!

Ada baiknya kita mengenal dan memahami perilaku alam. Untuk apa? Tentu agar kita bisa bersahabat dengan alam. Setidaknya kita bisa memperlakukan alam dengan benar, karena pada intinya kitalah yang harus menyelaraskan dengan perilaku alam. Kalau tidak, ya kita sendiri yang menanggung resikonya.

Kali ini mari saya kenalkan dengan La Nina dan El Nino. "Saudara kembar" ini masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda seratus delapan puluh derajat, alias lawan katanya, atau kebalikannya. La Nina dan El Nino adalah gejala alam 'yang tentunya diciptakan oleh Tuhan juga' untuk kita para manusia yang menghuni di planet bumi.Makanya perlu kita kenali siapa La Nina dan El Nino, sehingga sedikit banyak kita bisa bersahabat atau stidaknya kita bisa menghindar kalau "dia" sedang marah. Nah ini saya ambil dari Wikipedia, penjelasannya sebagai berikut:

La Niña (pron.: /lɑːˈnnjə/Spanish pronunciation: [la ˈniɲa]) is a coupled ocean-atmosphere phenomenon that is the counterpart of El Niño as part of the broader El Niño–Southern Oscillation climate pattern. During a period of La Niña, the sea surface temperature across the equatorial Eastern Central Pacific Ocean will be lower than normal by 3–5 °C. In the United States, an episode of La Niña is defined as a period of at least 5 months of La Niña conditions. The name La Niña originates from Spanish, meaning "the girl," analogous to El Niño meaning "the boy."
La Niña, sometimes informally called "anti-El Niño", is the opposite of El Niño, where the latter corresponds instead to a higher sea surface temperature by a deviation of at least 0.5 °C, and its effects are often the reverse of those of El Niño. El Niño is known for its potentially catastrophic impact on the weather along the ChileanPeruvian, New Zealand, and Australian coasts, among others. It has extensive effects on the weather in North America, even affecting the Atlantic Hurricane Season. La Niña is often, though not always, preceded by an El Niño.
La Nina dan El Nino sendiri bisa dikatakan sebuah gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El Nino (bahasa Spanyol) adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global). Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin, karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar hari Natal.  (He ..he… kalau El Nino berarti anak cowok, La Nina berarti anak cewek dong!?)

Di Indonesia, gejala alam ini berkaitan dengan angin muson. Pergerakan angin muson yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah bertekanan rendah di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang.

Hujan yang tersur menerus saat ini ada kaitannya dengan faktor La Nina. Pengaruh La Nina ini diprediksi cukup lama. biasanya berlangsung sampai bulan Juni. Sehingga ada kemungkinan musim penghujannya lebih panjang, dan musim kemaraunya bisa lebih singkat. Siklus La Nina sendiri biasanya muncul 7-10 tahun sekali, namun dalam beberapa tahun terakhir muncul lebih awal. Fenomena itu dipengaruhi oleh aliran sistem air dari Samudera Pasifik. Wilayah Indonesia kebetulan terlewati aliran sistem air dari Pasifik ke Samudera Hindia. Jadi La Nina maupun El Nino sangat  berpengaruh terhadap musim di Indonesia. 

Dari sedikit pengetahuan tentang La Nina dan El Nino ini mudah-mudahan kita menjadi lebih arif dalam menyikapi keadaan (baca: cuaca) saat ini dan masa yang akan datang. yang penting kita harus selalu siap dan mampu beradaptasi dalam segala kemungkinan yang terjadi di alam. Oke!?




Senin, 21 Januari 2013

Daratan yang dijuluki "Anak Benua Asia"

Anak benua? Kedengarannya aneh. Tapi itulah istilah. Siapa yang pertama kali membuat istilah itu? Pertanyaan itu yang harusnya kita ajukan. Pada saat kita mempelajari tentang Benua dan Samudera, kita tahu pengertian Benua adalah wilayah daratan yang luas dengan karakteristik tertentu. Kita mengenal ada Benua Asia, Amerika, Afrika, Australia, dan Antartika. Lalu apa yang dinamakan anak benua?

Inilah jawabannya yang saya ambil dari Wikipedia: India.

Sebenarnya bukan cuma India tapi seluruh negara di kawasan wilayah Asia Selatan (yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan dan Sri Lanka) disebut anak benua
antara lain karena

1. Secara geologis, sebagian besar daerah ini dianggap sebagai anak benua karena mempunyai lempeng tektonik sendiri yaitu Lempeng India, yang terpisah dari Lempeng Eurasia. Lempeng India dulunya merupakan benua kecil sebelum bertumbukan dengan Lempeng Eurasia. Bahkan sampai sekarang Lempeng India masih terus bergerak ke arah utara sehingga mengakibatkan pegunungan Himalaya semakin bertambah tinggi beberapa milimeter setiap tahunnya.

2. Asia Selatan juga merupakan tempat ditemukannya ciri-ciri geografis yang umumnya ditemukan di benua yang lebih luas, misalnya sungai es, hutan hujan, lembah, padang pasir, dan padang rumput di wilayah yang hanya setengah luas Amerika Serikat.

3. Secara budaya penduduk Asia Selatan mempunyai ciri-ciri istimewa yang membedakan mereka dari kawasan Asia lainnya; bangsa dan kebudayaan yang dominan adalah Indo-Eropa dan Dravidia. Para penduduknya juga mempunyai kedekatan yang lebih dengan Eropa dibandingkan dengan wilayah Asia lainnya, kecuali di Plato Iran dan Kaukasus.

4. Secara populasi Asia Selatan merupakan salah satu kawasan yang terpadat penduduknya di dunia. Sekitar 1,6 miliar jiwa tinggal di kawasan ini yaitu sekitar seperempat dari seluruh penduduk dunia. Kepadatan penduduk di Asia Selatan sebesar 305 jiwa per kilometer persegi sama dengan tujuh kali rata-rata dunia.

Semoga bisa memberi penjelasan sekedarnya. Untuk lebih luasnya bisa selusuri keterangan lain dari berbagai sumber.