Senin, 07 Juli 2014

PERLU BIJAK dalam MENILAI PRESTASI BELAJAR ANAK

Awal tahun pelajaran banyak orang tua sibuk mempersiapkan pendidikan untuk putra putrinya. Bagi anak yang harus naik jenjang sekolah, orang tua akan memilihkan sekolah terbaik untuk anaknya. Bahkan kadangkala sedikit memaksakan kehendak, walaupun si anak kurang minat pada sekolah pilihan orang tua. Akhirnya yang terjadi ada sedikit tertekan kejiwaan si anak; kemudian kalau anak tersebut tidak bisa menyesuaikan, maka akan menjadi beban tersendiri bagi kejiwaannya (stres).
Sebaiknya sikap orang tua harus bagaimana agar bisa membantu perkembangan anak dalam pendidikan? Berikut ini ada artikel yang cukup bagus dari Pak Eko Winarto, guru SMA 1 Geger, yang saya copas untuk bisa kita renungkan bersama.
"Apa yang paling dibanggakan orang tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga (kinestetik) .
Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan interpersonal?
Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti uncountable, tidak bisa dihitung, dan sayang sekali tidak ada nilainya di sekolah, karena di sekolah hanya memberikan penilaian kuantitatif.

Ada sebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Tika (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja di lingkungan rumahnya. Ada satu hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya.
“Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu…! Pinter Matematika , Bahasa Indonesia, Menggambar.. ..pokoknya pinter sekali….!” katanya santai. Vivi juga pintar sekali menggambar, gambarnya bagus …sekali! Kalau si Yahya bisa menghafal banyaaak…. sekali!”
Ya memang Tika senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar celoteh anaknya ibunya tersenyum dan bertanya, “Kalau mbak Tika pinter apa?” Ia menjawab dengan cengiran khasnya,”
Hehehe…kalau aku, sih, biasa-biasa saja”. Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun, karena pada dasarnya Tika memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi scholastic.
Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Tika sering diminta bantuannya untuk membimbing temannya yang sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar.
Bahkan ketika dua orang adiknya, Abi (4,5 tahun) dan Ayu (2,5 tahun) bertengkar. Tika langsung turun tangan. “Sudah..! sudah, Dik! sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siapa yang mulai?” Adiknya saling tunjuk.”Hayo, jujur … Jujur itu disayang Allah..! Sekarang salaman ya… saling memaafkan”.
Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya:
“Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Tika sebenarnya ingin, tapi bajuku di rumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu sudah punya rezeki, aku minta dibelikan …”
Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, Subhanallah anak sekecil itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.
Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena betapa banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.
Kadang kita merasa rendah diri manakala anak kita tidak mencapai ranking sepuluh besar di sekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau menang sendiri, sombong, suka berbohong atau tidak bisa bergaul.
Maka ketika Tika mengatakan “AKU BIASA-BIASA SAJA”, maka saat itu ibunya menjawab “Alhamdulillah, mbak Tika suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan mbak Tika , diteruskan dan disyukuri ya..?”
Ya… ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang positif bagi Tika . Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah. Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.
Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak kita? Kalau belum mulailah dari diri kita, saat ini juga."

Nah, dari tulisan ini kita bisa memperoleh pelajaran berharga bahwa ternyata kecerdasan anak bukan hanya berupa kecerdasan scholastic saja, namun ada kecerdasan-kecerdasan spiritual dan emosional, yang justru itu sangat diperlukan dalam pengembangan kemampuan dimasa depan si anak. Bahkan justru itulah yang menjadi faktor kesuksesan anak pada kehidupan kelak dewasa. Kecerdasan emosional seperti sabar, suka menolong, pandai bergaul, menghargai teman, dan sebagainya merupakan softskill yang dalam kurikulum terbaru (kurikulum 2013) sangat ditekankan. 
He...he..., bagaimana? Apakah masih menuntut anak kita supaya nilai matematikanya tinggi, bahasa Inggrisnya seratus, dan menekan anak supaya tidak keluar rumah, agar tidak bermain? Ataukah kita bisa menjadi orang tua yang bijak dalam memandang dan menilai anak? Semua berpulang kepada Anda.