Rabu, 25 Mei 2011

SIKAP KRITIS GURU SANGAT DINANTI

Oleh Ari Kristianawati, S.Pd (Guru SMA N 1 Sragen Jawa Tengah, Anggota Agupena Jawa Tengah)
Peningkatan kesejahteraan guru, khususnya guru yang telah lulus program sertifikasi profesi memunculkan sentimen dari berbagai kalangan. Perolehan tunjangan sertifikasi dua kali standar gaji pokok, memunculkan perasaan cemburu. Bukan hanya sesama guru se profesi yang berstatus tenaga honorer atau guru swasta dari yayasan yang “miskin’, namun banyak kelompok PNS tenaga teknis/struktural yang dilanda cemburu karena beda pendapatan.

Guru berstatus PNS yang lulus program sertifikasi minimal per bulannya akan mengantongi pendapatan 4,5 juta sampai 5,5 juta rupiah. Belum termasuk tunjangan bagi guru yang berada dilokasi terpencil, serta tunjangan unit satuan kerja. Meski dalam kenyataan sebenarnya, angka “lumayan” pendapatan guru berlabel profesional tersebut tidak diterimakan setiap bulan. Namun ibarat mengikuti alur birokrasi anggaran, diterimakan guru dalam periode tertentu yang jumlahnya sulit diprediksi oleh para guru sendiri.
Meningkatnya pendapatan guru yang sejalan dengan beban edukatif yang disandangnya, adalah “jasa” dari gerakan guru paska reformasi yang berani memperjuangkan hak-haknya secara terbuka atas prinsip solidaritas. Tentu saja mendapatkan dukungan dari berbagai komponen peduli guru termasuk media, yang menyuarakan nasib guru. Guru paska reformasi memang memainkan peran subjektinya, guru berani memperjuangkan program kolektif yang menjadi keyakinan bersama.
Sayangnya irama perjuangan guru, diluar mainstream menuntut penghargaan hak ekonominya guru kurang optimal dalam memperjuangkan apa yang dinamakan ‘program mendesak” peningkatan standar kualitas pendidikan nasional. Guru masih menjadi “robot’ yang menjalankan kebijakan dan isu politik pendidikan yang sesuai dengan tafsir dan kepentingan kekuasaan.
Guru tetaplah menjadi robot kurikulum dan berbagai proyek-proyek berbiaya mahal yang mengatasnamakan gagasan peningkatan indeks kualitas pendidikan nasional. mayoritas guru menjadi silent Community (Mayoritas diam) ketika negara—melalui depdiknas/kemdiknas—-getol menyelenggarakan ajang Ujian Nasional (UN) yang konon seagai alat mengukur kepintaran anak didik. Guru juga berdiam diri dan bahkan banyak yang gembira (tanpa memahami substansi) ketika ada program internasionalisasi pendidikan melalui skema program RSBI/SBI.
Guru tidak juga menjadi mayoritas kritis ketika DPR dan pemerintah menyetujui dengan setengah hati pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN. padahal guru seharusnya menjadi pengawal skenario, program, evaluasi penyerapan anggaran agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. karena dalam fakta dan realitas, seberapa besar anggaran yang dikucurkan untuk sektor pendidikan penyerapan terbesar untuk kepentingan birokrasi dan tidak menyentuh esensi program pendidikan murah yang berkualitas bagi masyarakat.
Tidak mengherankan apabila indeks korupsi yang dicatat lembaga pemonitoring korupsi semacam ICW, Tranparancy, KPK menempatkan sektor pendidikan menjadi wilayah rawan korupsi anggaran. Bahkan riset ICW yang sering dilansir dimedia, menyebutkan korupsi didunia pendidikan menyentuh “jantung’ lembaga edukatif yakni sekolah. padahal sekolah adalah arena bagi guru untuk menyampaikan materi dan pitutur ber-integritas.
Guru puluhan tahun silam dimitologisasi sebagai sosok pengabdi—-OEMAR BAKRIE dalam syair lagu populer Iwan fals—-yang tidak mengharap rupiah dan balasan atas pekerjaan mulia yang dilakukan. para guru mengajar dengan keikhlasan dan kesungguhan tanpa memperhitungkan imbalan. Output pengajaran guru masa lalu, benar-benar nyata dan hal tersebut dirasakan oleh para siswa.
Kini muncul stereotype masyarakat bahwa guru-guru saat ini minim kecakapan dan ketulusan mengajar namun surplus penghasilan. Benarkah demikian? tentu indeks kepuasan masyarakat dalam berbagai riset sebagai jawaban sahihnya. Para Guru saat ini memang mengalami fase demitologisasi. para guru tidak lagi dilekati label “pahlawan tanpa tanda jasa’, “pengabdi dan pemikir’ dan sebagainya.
Demitologi adalah bagian dialektika sejarah. Hal tersebut di antitesakan oleh kondisi objektif yang perkembangan komersialisasi pendidikan yang menjadikan guru ibaratnya hanya sebagai ‘pekerja” dan institusi pendidikan sebagai pabrik atau unit usaha yang menghasilkan untung bagi sang empunya. realitas subjektifnya adalah standar kualitas guru dalam kompetensi mengajar tidak berkarakter sebagaimana para guru dimasa lalu. Memang banyak guru yang kini bergelar S2 bahkan S3 namun, standar intelektual mereka belum atau bahkan tidak teruji karena sebagian besar tidak menghasilkan karya intelektual utama (magnum orpus).
Kemunculan komunitas minor yang cerdas dan kritis dikalangan guru, seperti deretan aktifis guru yang telah berhasil membangun organisasi guru “baru” dan independen, guru penulis dan pemikir, guru yang relawan sosial, guru yang menjadi pemimpin sosial tidak cukup menjadi lokomotif perubahan karakter, integritas dan kualitas guru. Padahal masyarakat sangat mengharapkan guru menjadi kekuatan intelektual edukatif yang mencerdaskan dan membuat kesadaran humanis para siswa.
Pengembangan kualitas guru tidaklah hanya bisa ditempuh dengan program up-grading guru bernuansa proyek. Namun perlu “revolusi” mentalitas guru. Revolusi mentalitas guru yang dibutuhkan adalah adanya proses perubahan kultur feodalistik menjadi emansipatorik dikalangan guru dalam aktivitas pembelajaran. kemudian juga diperlukan penguatan keyakinan ideologis guru bahwa mereka adalah agen perubahan.
Guru dan beragam organisasi guru sudah seharusnya tidak menjadi bagian dari pemroduksi kebijakan pendidikan nasional yang abai akan hak publik. Seperti dalam mendukung program pendidikan yang beraroma komersialisasi yang pro pasar. Guru dan organisasi guru seharusnya menjadi kekuatan oposisi kritis kebijakan pendidikan. Menyampaikan pemikiran kritisnya untuk kebaikan program pendidikan bagi semua (education for all).
Guru tidak seharusnya menjadi kekuatan sosial pendukung gagasan kemapanan yang anti keadilan, khususnya dalam merespons arus kapitalisasi pendidikan yang menyingkirkan aksesibilitas hak masyarakat miskin. Para guru yang terdemitologi seharusnya kini bisa menjalankan tugas, pokok dan fungsi dalam semangat dan kultur baru. Guru harus kembali menjadi komunitas pendidik yang haus ilmu pengetahuan. Selalu belajar dan mencari sumber ilmu pengetahuan.
Berani pula merombak metodologi pembelajaran dalam kerangka yang egaliter, kritis dan mandiri. Guru tidak boleh terus menerus menjadi “robot” kurikulum serta pendukung proyek peningkatan pendidikan yang anti nalar. Demitologi guru adalah sesuatu yang menguntungkan bagi upaya merevitalisasi peran guru. Guru sebagai pengajar, pendidik, pamomong generasi muda dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar