Selasa, 05 Juli 2011

Mencegah Budaya Anti Kualitas dalam Pendidikan

Oleh Mukhlis, SIP, S.Pd. —Juara Harapan Lomba Penulisan Artikel Pendidikan ISPI 2011—-
Persoalan pendidikan selalu menjadi pembicaraan aktual. Tidak hanya pada saat peringatan Hardiknas, hampir setiap kesempatan masalah pendidikan menjadi sorotan. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusak-an fasilitas umum, perkelahian massa, selalu dikaitkan dengan kurang efektifnya pendidikan.

Tanggapan masyarakat atas berbagai persoalan yang mengaitkan dengan pendidikan semacam itu sesungguhnya positif. Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran ditengah-tengah masyarakat betapa pentingnya pendidikan untuk membentuk kualitas warga negara sehingga terwujud masyarakat yang madani.
Pertanyaannya kemuaian adalah, sejauh mana pelaksana pendidikan merespon tuntutan masyarakat akan adanya peningkatan kualitas pendidikan? Upaya peningkatan kualitas telah dan sedang dilaksanakan secara terus menerus oleh pemerintah. Perbaikan kebijakan bidang kurikulum, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas tenaga pendidik termasuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya, terus digarap. Namun permasa-lahan pun terus berkembang.
Dari sekian banyak permasalahan, yang paling memprihatinkan adalah adanya oknum pendidik maupun tenaga kependidikan yang melakukan tindakan kontra produktif terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Ada kasus pemalsuan PAK (Penilaian Angka Kredit ja-batan guru), tindakan curang dalam pelaksanaan UN (Ujian Nasional), masih adanya penilai-an yang beraroma kurang bersih dalam pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (penilaian kinerja kepala sekolah).
Tindakan-tindakan kontra produktif tadi, kalau ditelusur sampai pada akar permasa-lahan, ternyata disebabkan karena lemahnya karakter pendidik yang menjadi oknum dalam tindakan curang tersebut. Gaung tindak kecurangan semakin keras terdengar di masyarakat karena pelaku tindak kecurangan adalah orang-orang di jajaran pendidikan yang seharusnya tabu untuk melakukan perbuatan tersebut. Pantaslah kalau kemudian sebagian masyarakat memberi nilai minus pada dunia pendidikan kita saat ini.
Perbaiki Karakter Pendidik
Berkembangnya budaya konsumerisme akibat kemajuan zaman, ditengarai sebagai pemicu munculnya budaya pragmatisme. Gejala suka menerabas aturan semakin sering dila-kukan. Tanpa malu-malu lagi orang melakukan tindakan melanggar norma demi tujuannya tercapai. Akhirnya muncul budaya instan, serba cepat dalam usaha mencapai sesuatu. Aturan pun diabaikan.
Gambaran semacam itu, sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Tidak hanya di masyarakat kota, di pedesaan pun mulai berkembang. Ada seorang ayah yang merasa bangga membayar ratusan juta rupiah demi anaknya diangkat menjadi guru PNS. Tindakan menyogok itu ia ceritakan kepada orang lain tanpa merasa bersalah. Dalam hatinya ia tidak merasa malu karena teman lain pun melakukan hal serupa. Itulah gambaran pragmatisme yang sudah membudaya.
Bagaimanapun juga tindakan salah pasti berakibat negatif. Dengan semakin berkem-bangnya budaya pragmatisme tersebut banyak pihak dirugikan. Masyarakat mulai merasa kalau sendi-sendi keadilan dalam kehidupan bermasyarakat terkoyak. Kehidupan seolah hanya dikuasai oleh mereka yang ber-uang. Orang miskin tidak lagi bisa bersekolah. Misal-kan bisa bersekolah pun tidak bisa memperoleh akses untuk menjadi PNS, tidak bisa menjadi Polisi, tidak bisa menjadi TNI, karena akses menuju ke sana harus ber-uang.
Dampak ikutan pun muncul. Sebagian anggota masyarakat mulai terjangkiti pemikiran negatif. Ada anggapan kalau sekolah tidak pintar tidak masalah, yang penting lulus (budaya anti kualitas). Dengan bermodalkan ratusan juta rupiah, kalau sudah lulus bisa melanajutkan sesuai cita-cita. Pandangan keliru semacam itu anehnya melanda sebagian pendidik (baca: guru) kita. Dalam proses penilaian siswa, terasa sekali ada “tekanan” yang menyebabkan guru tidak lagi merdeka dalam hal memberi nilai prestasi siswa. Demi untuk mensukseskan ujian yang kemudian kepala sekolah memperoleh pujian dari atasan, dibuatlah rekayasa nilai sehingga semua siswa lulus seratus persen. Akhirnya jalan pintas pun ditempuh. Dalam kondisi “tertekan” guru memberi nilai bukan berdasar pada prestasi siswa tetapi sesuai pesanan kepala sekolah.
Kondisi semacam itulah yang memupuk tumbuh suburnya pragmatisme dalam proses pendidikan di sekolah. Akhirnya muncul istilah budaya anti kualitas dalam pendidikan. Yakni suatu sikap yang berkembang di kalangan pendidik yang mengesampingkan kualitas. Sikap semacam ini bukan datang dari dalam diri para guru. Sikap ini muncul sebagai akibat rasa frustasi para guru yang kemandirian dalam proses pembelajarannya terkekang oleh “politisasi pendidikan”. Kondisi ini terasa sekali pada era otonomi daerah, dimana jabatan Kepala Dinas Pendidikan, Pengawas pendidikan, Kepala sekolah, menjadi “jabatan semi politik”.
Lagi-lagi kalau dirunut, sikap anti kualitas tersebut sangat berkaitan dengan lemahnya karakter pendidik. Tentunya tidak semua potret pendidikan seperti itu. Namun dari hasil refleksi penyelenggaraan pendidikan pada akhir-akhir ini, merasa kalau produk pendidikan sekarang ada yang kurang. Pendidikan dirasa hanya mengejar angka-angka, presatasi akademik semata, tanpa menyentuh sisi budi pekerti dan akhlak mulia. Masyarakat pun menggugat, perlu dihidupkan kembali pelajaran budi pekerti seperti dulu agar siswa punya karakter. Tanggapan terhadap usulan tersebut bermacam-macam.
Setelah ada gugatan dari masayarakat, segera masalah pendidikan karakter menjadi topik pembahasan hangat. Pendidikan karakter disodorkan sebagai alternatif untuk perbaikan pendidikan. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar. Hasilnya, semua sepakat kalau pendidikan karakter perlu diberi-kan kepada siswa/peserta didik.
Lantas bagaimana pelaksanaannya? Haruskah kurikulumnya berubah lagi? Pertanyaan semcam itulah yang sering ditanyakan. Setelah dikaji dan didiskusikan, ditemukanlah konsep pelaksanaan pendidikan karakter, yaitu dengan cara mengintegrasikan pada setiap proses pembelajaran tiap-tiap mata pelajaran. Efektifkah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu ada penelitian lebih lanjut. Yang jelas kita bisa mengambil pepatah lama yang dulu cukup populer namun sekarang jarang terdengar. ‘Guru kencing berdiri murid kencing berlari’. Ini artinya kalau mau memperbaiki karakter peserta didik, tentu harus diperbaiki pula karakter pendidiknya. Hal ini karena masalah pem-bentukan karakter tidak bisa lepas dari keteladanan dan model yang akan menjadi panutan.
Peran ISPI Sangat Ditunggu
Hilangnya pendidikan karakter telah menjadi isu dimasyarakat kalau pelaksanaan pendidikan sekarang kurang bermutu. Penilaian kasar (pendapat orang awam) semacam itu tidak boleh disalahkan, karena memang yang tampak dari hasil pendidikan berupa perilaku keseharian. Dan perilaku sehari-hari itu pula yang menunjukkan kualitas manusia. Oleh karena itu sangat tepat jika upaya memperbaiki kualitas manusia dimulai dari karakter.
Menurut Prof. Dr. Zamroni,¹ karakter tidak otomatis berkembang pada peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang memerlukan partisipasi dari berbagai pihak. Guru dan sekolah tidak akan mampu mengem-bangkan karakter di kalangan peserta didik secara mandiri. Perlu ada rakayasa untuk meng-arah ke sana.
Rekayasa sosial untuk pembangunan karakter perlu direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Proses ini berlangsung amat panjang, bahkan berlangsung sepanjang masa khususnya lewat pendidikan. ISPI sebagai organisasi profesional dapat ikut memainkan peran penting. Melalui berbagai kesempatan ISPI bisa ikut serta merumuskan kebijakan dengan cara memberi masukan-masukan guna perbaikan pendidikan ke depan.
Tentu saja perbaikan yang dimaksud harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manu-sia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, ber-ilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam setiap usaha peningkatan mutu pendidikan.
Selain memberi masukan dan mengkritisi berkaitan dengan kebijakan maupun pelak-sanaan pendidikan, ISPI bisa mengambil inisiatif untuk ikut merumuskan standar-standar peningkatan mutu dibidang pelaksanaan pendidikan. Berdasarkan Permendiknas nomor 29 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, pasal 14 menyebutkan, “Masyarakat dapat melakukan akreditasi jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan membentuk lembaga akreditasi sekolah/madrasah yang bersifat mandiri.” Sebagai bagian dari masyarakat, ISPI bisa membentuk lembaga akreditasi yang bersifat mandiri seperti lembaga ISO misalnya.
Akreditasi merupakan quality control yang terukur. Sangat efektif untuk mencegah budaya anti kualitas yang dalam kondisi tertentu tumbuh dan berkembang dalam dunia pendidikan. Alangkah bergengsinya jika brand quality control itu berasal dari lembaga yang kompeten dalam bidang pendidikan seperti ISPI. Mengapa ada sekolah-sekolah yang ingin memperoleh pengakuan di bidang mutu malah lari ke lembaga ISO 2000 ? Mengapa tidak ke ISPI?
Peningkatan mutu pendidikan harus terbebas dari budaya anti kualitas. Sesungguhnya budaya anti kualitas yang muncul dikalangan pendidik hanyalah efek samping dari manaje-men pendidikan yang terpolitisasi, disamping karena lemahnya karakter pendidik. Sebagai organisasi profesional, ISPI dapat memainkan peran penting dalam mencegah budaya anti kualitas bidang pendidikan dengan membentuk lembaga akreditasi yang bergengsi sebagai branding kebanggaan bagi sebuah lembaga pendidikan. Kemampuan untuk itu ada, karena ISPI adalah organisasi profesional yang spesifik dalam bidang pendidikan. []
¹ Prof. Dr. Zamroni dalam seminar internasional “The Role of Social Studies in The Contex of Nations and Character Buiilding”, yang diselenggarakan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu sosial (FIS) Universitas Negeri Makasar dan HISPISI Daerah Sulawesi Selatan. Sumber http://www.uny.ac.id
0diggsdigg

2 komentar:

  1. selamat atas prestasinya semoga dapat menjadi guru sejati di masa kebangunan (dibawah bendera revolusi jilid 1 oleh Ir. Soekarno hal 611)

    BalasHapus