Jumat, 12 Juli 2013

PARASIT EKONOMI

Oleh: Mukhaer Pakkanna
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta


Kendati dua lembaga pemeringkat internasional telah menyematkan gelar investment grade dengan rating BBB- oleh Fitch Rating dan gelar peringkat utang Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3 dengan prediksi stabil oleh Moody’s Corporation, ada satu pertanyaan tersisa, yakni, siapkah Indonesia mengelola gelontoran dana investasi global jika benar-benar efek rating membanjiri invetasi di Tanah Air?
Memang, pengelolaan anggaran Negara baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun pihak asing (utang dan investasi), selama ini dihambat keruwetan pola birokrasi dan perilaku budaya politik yang kurang transparan dan akuntabel. Konsekuensinya, berapapun realisasi anggaran yang dikelola Negara dan swasta kerap kali ketelingsut oleh pola dan perilaku itu. Banyaknya pungutan liar (pungli), seperti laporan utama Republika, Selasa, 14 Februari 2012 mengonfirmasi dan menegaskan perilaku itu.
Pada dekade 1980-an, Sumitro Djojohadikusumo melansir, kebocoran anggaran Negara mencapai 30% setiap tahunnya. Di sisi lain, riset CIDES pada akhir 1990-an juga menyampaikan, biaya produksi perusahaan hampir 30% tidak berkait langsung dengan ongkos produksi riil, tapi lebih banyak berkaitan pungli, yang menimbulkan high cost economy.
Bahkan, hingga detik ini pun, potensi kebocoran APBN terus menggelayut. Hasil audit BPK (2011) melansir, dalam kurun waktu tujuh tahun (2003-2010), jumlah APBN yang tidak jelas peruntukannya mencapai Rp103 triliun. Komposisi terbesar kebocoran terletak pada dana pengadaan barang dan jasa.  Indikatornya, terlihat pada penetapan harga perhitungan sendiri selalu lebih mahal 20-30 persen dari harga pasar. Bank Dunia pun pada 2008, melansir tingkat kebocoran anggaran pengadaan sekitar 10-50 persen.
Maka, berapa pun besaran dana baik bersumber dari hasil investasi asing, swasta, utang luar negeri, maupun sumber dana negara, menjadi penting dicermati di tengah  masih tingginya parasit (benalu) ekonomi nasional. Menjadi pertanyaan, sejauhmana efektifitas anggaran itu jika parasit masih bercokol kuat?
Parasit Ekonomi
Dalam ilmu tumbuhan, parasit dimaknakan sebagai jenis relasi simbiosis antara organisme dari spesies berbeda, yang menumpang makan dan mengorbankan tuan rumah.  Dalam terminologi Yunani, parasit berarti parasitos, “orang yang makan di meja lain”. Dalam konteks sosial, parasit sosial dimaknakan mengambil keuntungan dari interaksi antara anggota organisme sosial, yakni manusia, sistem sosial, kelembagaan, aturan, dan lainnya. Manusia sebagai bagian organisme sosial, kerap kali paling lihai memanfaatkan peluang, bahkan bisa saling membunuh di antara mereka. Parasit sosial berarti mematikan organisme lain (tuan rumah) demi keuntungan atau manfaat pribadi.
Maka, dalam konteks kegiatan ekonomi, parasit ekonomi  diartikan bukan sekadar bersifat strukural, tapi juga kultural.  Parasit ekonomi yang bersifat struktural diartikan, parasit yang dikonstruksi melalui produksi kebijakan oleh institusi yang memiliki kuasa dan uang, misalnya, pemerintah, pengusaha kakap, legislatif, pemburu rente, dan yudikatif.  Demi kepentingan pembiayaan politik misalnya, institusi kekuasaan ini memproduksi kebijakan ekonomi, yang justru bisa menciderai laju akselerasi ekonomi. Tidak mengherankan, jika banyak kebijakan yang diproduksi  justru meningkatkan high cost economy.
Di sisi yang lain, parasit ekonomi yang bersifat kultural, diartikan sebagai sikap mental (mindset) yang sudah mengkristal dalam perilaku masyarakat (habits), yang justru menghambat optimalisasi potensi ekonomi. Sikap  malas, kurang disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan produktivitas rendah, merupakan bagian parasit ekonomi yang sifatnya kultural. Konsekuensinya, entropi ekonomi menjadi rendah. Entropi ekonomi diartikan sebagai derajat ketidakteraturan dalam mengelola ekonomi yang disebabkan mindset masyarakat  yang kurang menghargai produktivitas dan kekuatan kolegialitas masyarakat. Semakin tinggi entropi ekonomi, semakin rendah laju percepatan, keadilan, dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Mengenyahkan
Parasit ekonomi merupakan musuh utama dalam membangun daya saing ekonomi. Karena itu, ia harus segera dienyahkan. Melihat anatomi parasit ekonomi terpeta dalam parasit struktural dan kultural, setidaknya pada aspek struktural, yang perlu dilakukan, pertama, mengeyahkan inefisiensi birokrasi.  Pungli yang masih berseliweran dari hulu ke hilir menyebabkan pelaku usaha harus terbebani dengan tambahan biaya produksi. Ditambah lagi birokrasi perizinan usaha.
Jika Singapura dan Thailand membutuhkan waktu 3 hari untuk mengurus perizinan untuk membuka usaha baru, Indonesia justru 60 hari. Laporan Kegiatan Bisnis di Indonesia 2012 oleh International Finance Cooperation (IFC) dan World Bank, biaya rata-rata yang disyaratkan  dalam hal mendirikan usaha di 20 kota di Indonesia sebesar 22 persen dari pendapatan per kapita. Biaya notaris adalah yang terbesar. Nilainya bisa separuh dari total biaya.
Kedua, mengenyahkan gurita korupsi. Mengonfirmasi laporan akhir tahun PPATK (2011) bahwa selama tahun 2011 terkuak, dari jumlah total 175 laporan dugaan tindak pidana korupsi, sebanyak 50,3 persen dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian, dari 175 laporan dugaan tindak pidana korupsi itu, ada 42 kasus dengan jumlah nominal di bawah Rp 1 miliar per transaksi. Dan, 70 kasus dengan jumlah nominal Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar per transaksi, serta ada 33 kasus dengan jumlah nominal Rp2 miliar sampai Rp3 miliar per transaksi. Ini menandakan, serangan utama untuk mengenyahkan gurita korupsi, terletak pada aparat birokrasi pemerintahan, yang juga kerap “berselingkuh” dengan kuasa uang dan kuasa politik.
Ketiga,  pada aspek kultural, diperlukan pengenyahan entropi budaya (Ginanjar, 2012), yakni menekan derajat ketidakteraturan nilai-nilai yang semakin pragmatis, myopic, dan instant. Nilai-nilai seperti ini mendestruksi produktivitas, daya saing, dan sprit kolegialitas masyarakat. Masyarakat akhirnya cenderung nafsi-nafsi. Karena itu, diperlukan penanaman dan kritalisasi nilai-nilai religiusitas, yang tidak saja bersifat normatif, tapi diperlukan nilai-nilai yang kompatibel dan aplikabel dengan realitas. Maka, ruang pendidikan formal, informal, dan nonformal membutuhkan contoh dalam ucapan, laku, dan keteladanan.
Pada akhirnya, parasit ekonomi yang menghambat akselerasi kesejahteran dan keadilan ekonomi masyarakat, hanya bisa dipotong jika Indonesia memiliki strong leadership.

Dicopas dari:
http://mohammadwasil.dosen.narotama.ac.id/2013/05/03/parasit-ekonomi/#sthash.Sz9rbPPs.dpuf