Sarasehan terbatas yang dilakukan oleh beberapa orang termasuk penulis, mengambil tema HUT Kemerdekaan RI yang ke-67. Walaupun tidak resmi menggunakan susunan acara maupun tertib acara layaknya acara resmi yang diadakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Kabupaten, namun acara ini berlangsung penuh makna. Setidaknya begitu yang saya tangkap. Mengapa? Karena selain murni merupakan pemikiran dari warga tingkat bawah, juga tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan politik dari masing-masing peserta. Sebab peserta sarasehan adalah rakyat biasa, bukan anggota partai politik, bukan pejabat. Semua peserta hanyalah anggota jamaah sholat isya dan tarawih yang pulang belakangan setelah usai mengikuti kegiatan tarawih berjamaah di Masjid kampung. Sarasehan menjadi semangat dengan hadirnya jajan dan minuman yang memang banyak orang ingin berbagi (sodaqoh) untuk memanfaatkan bulan Ramadhan dengan hal-hal yang baik.
Hasil dari sarasehan diantaranya adalah bahwa peristiwa 17 Agustus 1945 terulang kali ini. Saya yang baru saja minum teh panas cukup kaget mendengar ungkapan teman saya itu. "Loh, terulang bagaimana?" tanya saya sambil menaruh gelas buru-buru. Ternyata yang dimaksud terulang adalah bahwa 17 Agustus tahun ini, (2012) persis sama dengan 17 Agustus pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tempo dulu. Persamaannya adalah bahwa harinya persis hari Jum'at, 17 Agustus, dan pada saat itu orang-orang (baca: bangsa Indonesia) juga sedang melaksanakan ibadah puasa, karena dalam bulan suci Ramadhan.
Selain menyoroti hari 'H' peringatan HUT RI ke-67, dalam sarasehan terbatas tersebut juga terungkap bahwa suasana politik saat itu ada kemiripan dengan situasi pada saat ini. Kemiripan ini tampak pada pertikaian, beda pendapat, atau salah paham dalam komunikasi antar pejuang saat itu. Para pejuang muda menghendaki kalau proklamasi harus segera dikumandangkan; masalah merdeka adalah masalah bangsa Indonesia sendiri yang tidak usah tergantung dengan Jepang atau bangsa lain; Situasi vacuum of power merupakan saat yang tepat untuk bangsa Indonesia mengambil sikap segera, jangan sampai moment tepat ini hilang percuma. Begitu pendapat para muda. Namun maksud baik belum tentu bisa diterima oleh orang lain. terbukti pendapat para pemuda semacam itu tidak serta merta disetujui oleh para pejuang dari golongan tua. Golongan tua merasa perlu untuk berembuk dengan lembaga resmi yang sudah dibentuk (PPKI). Para pejuang dari kalangan tua menganggap PPKI lebih berhak untuk melaksanakan proklamasi karena itulah satu-satunya lembaga yang resmi dipersiapkan untuk menangani persiapan kemerdekaan Indonesia.
Saling mengklaim 'paling benar' terkait pendapat masing-masing inilah yang akhirnya mengganggu hubungan antar aktifis pejuang kemerdekaan. Dan kondisi semacam itu saat ini juga terjadi di negara kita ini. Esensi peristiwa pertikaian yang terjadi, mirip-mirip dengan pertikaian, beda pendapat, dan salah paham antara KPK dan institusi Polri dalam menangani kasus korupsi. Saya yakin niatan dan tujuan dari keduanya semua baik, ingin memberantas korupsi. Persis sama dengan niatan dan tujuan dari para aktifis pejuang muda maupun pejuang golongan tua pada saat itu yang sama-sama ingin Indonesia segera merdeka.
Dengan semangat Ramadhan kala itu, Achmad Soebardjo mampu menyatukan pandangan kedua kubu yang berseteru. Pertikaian dan beda pendapat antara pejuang muda dan pejuang golongan tua dalam memandang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan bisa segera disatukan. Permasalahannya sekarang adalah apakah dalam suasana Ramadhan saat ini juga bisa menyatukan pandangan antara KPK dengan institusi Polri dalam hal penanganan korupsi? Itu pertanyaan yang menyeruak dalam sarasehan terbatas di serambi masjid "Nurul Quran" sehabis sholat tarawih kali ini. Banyak peserta berharap semoga sejarah berulang. Maksudnya pertikaian, beda pandangan, maupun salah paham dalam komunikasi antara KPK dan Polri bisa disatukan. Para peserta juga berharap munculnya sosok yang mampu menyatukan pandangan antara pendapat KPK dan Polri yang berselisih dalam penanganan kasus korupsi. Akhirnya peserta hanya berdoa semoga dengan semangat Ramadhan tahun ini bisa membawa berkah bagi bangsa Indonesia, khususnya bisa membukakan masing-masing komponen bangsa untuk sadar bersatu demi kepentingan bangsa dan negara sebagaimana dulu pernah terjadi. Enam puluh tujuh tahun yang lalu.
Apakah sejarah berulang? Tidak. Karena sejarah terkait dengan dimensi waktu. Sementara waktu itu sendiri tidak pernah terulang. Waktu terus berjalan, kalau peristiwa ada kemiripan itu mungkin bisa terjadi, namun tentu berbeda dalam banyak hal. Mudah-mudahan Ramadahan kali ini bisa membawa berkah untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sejarah tidak berulang dan tidak akan pernah terulang. Tetapi kita harus mau belajar dari sejarah. Sejarah bisa kita jadikan pijakan untuk kita melangkah agar bisa bersikap bijak dan tidak terulang kembali pada kesalahan yang menimbulkan derita hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar