Oleh Prof Dr H Winarno Surakhmad MSc Ed(Pembina ISPI)
Dimanakah Engkau, Guru Profesional?
Setiap kali kita mengharapkan sesuatu pekerjaan dilakukan dengan baik, apakah itu di rumah sakit, di pasar, di penjara, atau di panti pijat, kita berbicara tentang perlunya perilaku yang profesional. Di dalam arti kata itu terkandung makna bahwa perilaku itu didasarkan atas pengertian yang benar mengenai hal yang harus dilaksanakan, dan pengertian itu dilengkapi dengan kemahiran yang tinggi. Tindakan yang lahir dari gabungan kedua sifat itu, mencerminkan lebih kurang tingkat profesionalisme yang diharapkan dimiliki seseorang.
Kalau pengertian ini kita terapkan di dalam kehidupan secara luas, maka di semua segi kehidupan diperlukan profesionalisme, walaupun kita belum terbiasa mendengar apa arti suami profesional, misalnya. Rupa-rupanya aspek kemahiran yang tinggi itulah yang dimaksud apabila kita berbicara tentang pencopet profesional. Atau pelacur profesional. Bagaimana dengan petinju profesional? Apakah, apabila dia tergolong petinju amatir, ia tidak dapat atau tidak boleh bertinju secara profesional? Ba-gaimana dengan guru yang profesional? Apa beda guru profesional di Amerika dengan guru di Indonesia? Bagaimana profesionalisme guru di zaman Orde Baru dibandingkan dengan guru Orde Reformasi?
Guru diharapkan melaksanakan tugas kependidikan yang tidak semua orang dapat melakukannya, artinya hanya mereka yang memang khusus telah bersekolah untuk menjadi guru, yang dapat menjadi guru profesio-nal. Tetapi sejauh mana ketentuan ini berlaku umum? Apakah sekolah guru menjamin lulusannya pasti adalah guru yang profesional? Banyak juga lulusan sekolah guru yang memberi kesan seolah-olah mereka tidak pernah melalui pendidikan guru. Jadi realitas ini tidak sesuai dengan yang seharusnya berlaku. Bahkan, sesekali ada juga orang yang tidak merupakan lulusan sekolah guru, yang kemudian ternyata dapat menjadi guru. Apakah mereka itu berhak menyandang predikat guru profesional ?
Kalau begitu, apakah sebaiknya kita tidak usah persyaratkan perlunya seseorang terlebih dahulu bersekolah guru sebelum dapat menjadi guru yang profesional? Bagaimana pula keadaannya apabila tuntutan untuk menjadi guru profesional adalah begitu kuat, tetapi lingkungan dan kondisi kerja sama sekali tidak mendukung? Ataukah kita menggunakan istilah guru profesional hanya dengan harapan agar guru masih mau bekerja mati-matian, se-bagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tanpa segala-galanya! _ di dalam kondisi yang setengah mati buruknya? Sunggguh tidak berperikemanusiaan untuk menuntut profesio-nalisme dari guru, kalau guru sebenarnya sudah tergolong kaum the have nots, di luar dan di dalam habitatnya sebagai guru.
Di kalangan kelompok-kelompok atau organisasi profesional, dokter, pengacara, dan sekarang juga guru, seringkali kita mengenal sebuah sifat lagi yang ditambahkan di dalam persyaratan profesi: kode etik. Kode etik dokter, misalnya, tidak membenarkan anggota-anggotanya menceritakan kian kemari pe- nyakit atau penderitaan seorang pasien, ke-cuali di dalam hal tertentu yang dikehendaki oleh hukum. Seorang hakim tidak dibenarkan menerima suap dalam keadaan bagaimanapun, seperti juga seorang polisi, petugas penegak hukum. Guru juga begitu: banyak rambu-rambu yang diperkenalkan di dalam kode etik organisasi profesional, yang intinya adalah untuk memastikan agar setiap anggotanya menjunjung tinggi tugas yang diberikan ke- padanya, termasuk menyimpan rahasia jabat-an. Tetapi kata orang, pelacuran pun mempunyai kode etik atau rahasia jabatan, yakni tidak mengambil langganan yang sudah menjadi `milik’ pelacur lain, dan tidak membongkar identitas pelanggannya. Jadi profesionalisme yang bagaimana yang kita perlukan?
Mari kita berbicara agak lebih serius. Memang profesionalisme bukanlah sebuah istilah baku. Juga bukan berharga mati. Pro- fesionalisme adalah konsep yang dinamis, berkembang sepanjang masa. Dengan itu kita harus mengerti bahwa adalah tidak mungkin untuk menetapkan standar profesi yang berlaku sepanjang masa, di dalam keadaan yang bagaimanapun. Persyaratan menjadi guru yang baik lima puluh tahun yang lalu, berbeda dari sekarang, dan ada alasan untuk meramalkan bahwa persyaratan itu akan berubah lagi lima puluh tahun dari sekarang. Tetapi janganlah berhitung dalam jarak lima puluh tahun. Terlalu lama. Di setiap saat, profesionalisme berlangsung terus, karena profesionalisme adalah suatu proses dengan ujung atau pucuk terbuka, yang selalu terjadi, dan yang terjadi terus menerus, tidak pernah benar-benar selesai. Arti-nya, apabila profesionalisasi berjalan terus sebagaimana seharusnya, maka yang kita peroleh adalah hasil yang semakin hari semakin baik, semakin hari semakin lebih profesional.
Tetapi kalau profesionalisasi adalah konsep yang begitu dinamis, bagaimana kita da-pat mengamati atau menilai bahwa kita telah sampai pada tahap yang acceptable, dan yang sekaligus improvable? Inilah sisi lain lagi dari masalah profesionalisasi di bidang kependi-dikan. Profesionalisasi, sebagai sebuah pro-ses, terjadi di dalam sebuah konteks yang riil, bukan di dalam ruang hampa.
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat meng- identifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan de- ngan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-te-naga profesional; sumber daya manusia, sa- rana, iklim politik, dan berbagai unsur di da-lam ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan ma-tinya diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu kental sebagai watak yang tidak menghormati _ karena tidak memahami _ hakikat profesionalisme.
Keadaan yang anti profesionalisme itulah yang justru men-cemari dan memudar-kan hasil usaha dan keberhasilan guru-guru yang menerima profesi pendidikan sebagai panggilan hidup. Mereka ada di sekeliling kita. Dan kalau kita cermat, kita mungkin dapat mengenalnya apabila kita bertemu dengan guru serupa itu. Perhatikanlah sekeliling Anda. Lihatlah guru itu, yang telah menyelesaikan dengan baik pendidikan profesionalnya dari sebuah lembaga pendi-dikan guru. Pada tahun-tahun awal sejak dia pertama kali menjadi guru, tidak banyak yang istimewa yang tampak di dalam guru itu. Bahkan penampilan awalnya sama saja dengan guru-guru yang lain. Bukan tidak kompeten, tetapi tidak ada keistimewaan apa pun yang tampak dari luar.
Tetapi perhatikanlah dia sekali lagi. Sekarang, setelah bertugas lebih dari lima ta-hun, dia mulai melampaui prestasi guru-guru seangkatannya. Dia dapat berbicara dengan semangat dan teliti mengenai keadaan sekolahnya, dan terutama mengenai murid-muridnya, lebih dari guru-guru lain. Sekali lagi, bukan karena dia terlalu istimewa, tetapi karena dia peduli, dia peduli dengan segala ketulusan. Apa yang dialaminya, direnungkannya; apa yang direnungkannya disuarakannya; apa yang disuarakannya dilaksanakannya; apa yang dilaksanakannya disempurnakannya. Dia mulai dapat melihat le-bih dalam, tembus lapisan permukaan apa-apa yang hanya kasat mata. Dialah itu, profesional tulen.
Tidak ada yang memerintahkan dia berbuat demikian, te-tapi ini ter-jadi karena dia menghargai pekerjaannya. Ia menghargai anak bangsa yang dipercayakan kepadanya. Ia bangga pada pekerjaannya. Dan ia belajar terus, yang menjadikan cakrawala pemikirannya menjadi lebih luas. Jauh lebih luas dari apa yang dimilikinya lima tahun yang lalu.
Bahkan, banyak dari yang dipahaminya dan dipercayainya sekarang, dia tidak dapat mengingat pernah mempelajarinya ketika masih belajar menjadi guru. Dia malahan merasa bahwa sebenarnya, banyak juga yang dipelajari di sekolah guru yang ternyata tidak pernah berguna atau tidak dapat digunakan; karena itu, ada pengetahuan yang dikembangkan sendiri melalui proses pembelajaran yang berlangsung terus: ada yang dipelajarinya; tetapi ada yang dibuangnya.
Ia menjadi kritis, dan semakin hari semakin menjadi lebih kritis. Ia juga menjadi kreatif, dan makin menjadi kreatif, hal yang membahagiakan muridnya. Pada saat yang sama, ia menjadi lebih profesional dari sebelumnya. Itulah guru kita, yang hidup di dalam satu garis profesionalisme yang tidak pernah berhenti, karena perkembangannya telah didorong oleh kekuatan dari dalam dirinya. Maka proses itu pun menjadi sustainable.
Perlukah profesionalisasi?
Dalam arti yang sudah dikemukan yakni, sebagai sebuah proses kontekstual yang selalu menjadi (in the state of becoming) _ dan terus menjadi, profesionalisasi tidak ha-nya perlu, tetapi mutlak. Sebenarnya, hampir-hampir menjadi sebuah tautologi, kalau menjadi guru masih dipersyaratkan untuk menjadi profesional. Guru itu sudah sebuah profesi. Sebagai profesi, memang diperlukan berbagai syarat, dan syarat itu tidak sebegitu sukar dipahami, dan dipenuhi, kalau saja se-tiap orang guru memahami dengan benar apa yang harus dilakukan, mengapa ia harus me-lakukannya dan menyadari bagaimama ia dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya, kemudian ia melakukannya sesuai dengan pertimbangan yang terbaik. Dengan berbuat demikian, ia telah berada di dalam arus pro-ses untuk menjadi seorang profesional, yang menjadi semakin profesional.
Mengajar tugas utama guru adalah proses yang harus berdasarkan penerimaan prinsip perubahan; menerima perubahan yang terjadi di dalam diri anak, dan menerima perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Tanpa perubahan (luar) yang tampak dengan jelas pun, mengajar adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan. Oleh karena itu, mereka yang menerima tugas guru sebagai sebuah tugas pelestarian, telah bertentangan dengan sebuah prinsip dasar profesionalisme di dalam pendidikan. Pendidikan adalah perubahan (walaupun perubahan tidak mesti berarti pendidikan).
Tetapi mengapa masalah profesionalisasi ini masih terus menjadi hangat; apa yang menyebabkan persoalan ini tidak reda? Per-tanyaan terakhir ini telah dirumuskan dengan salah. Persoalan profesionalisasi tidak akan menjadi persoalan yang mereda, lalu (mung-kin) hilang. Justru ia akan menjadi semakin aktual, apalagi bila tetap masih diartikan dan diperlakukan salah.
Dengan sikap yang benar, kalau kita meng-hendaki terjadinya profesionalisasi secara le-bih intensif, alasan utamanya bukanlah hanya karena kita ingin agar guru-guru dapat meme-cahkan semua persoalan yang dihadapinya, dan berharap suatu hari nanti pesoalan sudah akan hilang di muka bumi ini. Bukan itu! Kita mengharapkan terjadinya profesionalisasi karena kita menganggap sangat penting se- tiap guru mempunyai visi yang jelas, visi yang bila diterjemahkan ke dalam tindakan _ memungkinkan proses mengajar berlangsung secara baik dan benar.
Kita harus menyadari, dan menyadarkan guru-guru pemula, bahwa kalau perhatian kita terfokus hanya kepada sejuta masalah yang kebetulan ada di depan mata, kita sudah pasti kalah perang sebelum turun bertanding! Sebagian besar dari sejuta masalah itu hanyalah akibat, atau hanyalah gejala, atau periferi dari sesuatu yang sudah lebih dahulu wujud, jauh di bawah permukaan.
Menghabiskan umur semata-mata untuk memerangi masalah itu tidak banyak manfaatnya. Ketika satu masalah kita `bereskan’ akan timbul sepuluh masalah yang lain. Kemampuan kita menyelesaikan masalah itu akan dikalahkan oleh kecepatan timbulnya sejumlah masalah baru, setiap saat, dalam berbagai wujud. Kalau begitu, maka bagi kita semua, tugas profesional guru hanya akan berarti tugas memecahkan semua masalah; makin ba-nyak masalah yang kita pecahkan, makin ting- gi tingkat keprofesionalan kita. Apa memang begitu?!
Tentu saja kita tidak menginginkan masalah. Kalau kita dapat membereskan semua masalah, mengapa tidak? Ya, mengapa tidak!
Memang tidak.
Tidak, karena pertama: tidak ada situasi ke-pendidikan di dunia ini yang steril, bebas masalah; memahami masalah adalah sesuatu yang dapat memberi hikmah.
Tidak, karena kedua: sebagai kekuatan yang profesional, kita harus bervisi jauh di atas masalah, bukan bervisi masalah. Sebagian besar masalah yang tampil sebagai gejala, akan berubah menjadi lain, tahu akan hilang seketika, apabila sebab dari segala sebab, masalah dari segala masalah, dapat kita masuki. Itulah perlunya visi.
Tanpa visi, sepanjang hayat kita akan berbicara tidak lain dari sesuatu yang negatif: pendidikan tidak berguna, mengajar mem-bosankan, murid tidak berselera belajar; bahkan mungkin juga seminar ini pun hanya menghabiskan tenaga. Lalu kita pun menjadi semakin lumpuh, dikalahkan oleh mata rantai permasalahan yang tampaknya tidak pernah (memang tidak pernah) akan hilang. Tetapi dengan visi ke depan, yang kita bicarakan ialah masa depan dan generasi muda yang lebih bahagia: pendekatan mengajar yang kreatif, mengajar sangat mengasyikan; belajar adalah penemuan; dan seminar ini adalah pengayaan.
Pada dasarnya, argumentasi ini menekankan perlunya profesionalisasi dilihat sebagai pengembangan serangkaian paradigma baru di dalam pendidikan, yang antara lain dikaitkan dengan kondisi-kondisi yang akan dan sedang mempengaruhi kehidupan di dunia, yang esensinya harus dapat ditangkap para guru.
Di dalam makalah Pendidikan Yang Bukan: Reformasi Dari Dalam (seminar dan lokakarya pendidikan islam, 17-19 Juni 2000, Jakarta) saya menekankan perlunya guru memperhatikan karakteristik peralihan paradigma, dari paradigma lama ke paradigma baru, dari tingkat profesionalisme yang rendah ke profesionalisme yang tinggi. Yang saya sarankan ialah:
1. Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian, akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan bukan bahasa nostalgia masa lalu.
2. Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesio-nal demikian, akan merangsang anak di- diknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti masalah, dan mengembangkan sendiri berbagai informasi baru. Dia tidak secara dogmatis atau indoktriner memaksakan informasi usang yang sudah tidak berharga apa-apa di dalam kehidupan anak didik.
3. Peralihan paradigma dari yang berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis, guru dengan tingkat profesionalisme yang tinggi antara lain, adalah guru yang mampu menghidupkan alam dan kehidupan demokrasi di dalam situasi mengajar dan belajar sebagai sebuah cara hidup. Tanpa kewaspadaan guru, sangat mudah proses itu menjadi feodalistik dan paternalistik. Guru adalah lambang democracy in action, bukan democracy in words.
4. Peralihan paradigma pendidikan yang terpusat di satu tangan ke seragam, menjadi paradigma pendidikan yang kaya dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan anak didik. Di sini, guru bertanggung jawab, lebih masalah sebelumnya, sebagai pengelola proses belajar dan mengajar. Profesionalisme guru yang tinggi, akan menciptakan kemandirian lembaga.
Peralihan paradigma tersebut pasti memakan waktu; jauh lebih mudah membicarakan dari pada merealisasikannya. Sektor pen- didikan kita tergolong sebagai sektor yang sangat tidak peka pada tuntutan perubahan. Tetapi, sebagai bagian reformasi, kita tidak dapat menangguhkan terjadinya proses itu berlama-lama karena sudah terdapat banyak petunjuk bahwa salah satu sebab utama keterbelakangan kita di dunia pendidikan sekarang adalah karena pendidikan dikembangkan de-ngan “profesionalisme” yang berdasarkan pa-radigma yang salah.
Guru-guru yang diharapkan dari semula lahir sebagai guru dengan paradigma yang be-nar, perlu dipersiapkan sedini mungkin melalui lembaga atau sistem pendidikan guru, yang memang juga bersifat profesional. Di mana kita dapat menemukan lembaga profesional serupa itu?
IKIP, Di mana engkau sekarang?
Kalau kita berniat menulis sejarah perkembangan guru di Indonesia, kisah institusi keguruan dan ilmu pendidikan sebagai realitas sejarah, tidak dapat dilampaui. Bukan karena keistimewaannya, tetapi justru karena sejak semula lembaga itu hidup sebagai lembaga bermasalah. Kita tidak perlu menoleh terlalu jauh ke belakang. Cukup dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Lebih 30 tahun si-lam. Ada sebuah lembaga yang bernama IKIP, hasil perkawinan polittik antara Fakultas Ilmu Pendidikan dan Institut Ilmu Keguruan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, alm. Didirikan dengan harapan menjadikannya sebagai lembaga profesional. Tujuannya jelas: mendidik calon-calon guru yang berkualitas, berkemampuan mengajar di berbagai jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah; de-ngan lain perkataan, IKIP bertugas mendidik calon-calon guru yang profesional. Nama itu mudah dimengerti: tugasnya pun begitu.
Tidak ada lembaga tingkat universiter yang lain yang mendapat tugas khusus ini. Hanya IKIP. Tetapi di situlah masalahnya; tidak banyak yang dapat kita bicarakan me-ngenai potensi profesionalisasi yang lahir dari lembaga tersebut. Memang IKIP tidak pernah meyakinkan penampilannya sebagai lembaga profesional. Sebagai lembaga IKIP terkesan sangat tidak militan di dalam membela kepentingan pendidikan umumnya, para guru khu-susnya. IKIP selalu kurang terlibat di dalam mengembangkan ilmu kependidikan di Indonesia. Alhasil, IKIP telah menempatkan diri di tempat yang salah, dan memainkan peran yang tidak strategis, kalau tidak dapat dikatakan tidak profesional.
Karena itu, kehadiran IKIP di dalam arena pendidikan di Indonesia tidak pernah mengesankan. Suaranya tidak seberapa dide-ngar; kehadirannya tidak seberapa disadari. Dampaknya pun tidak seberapa dirasakan. Akhirnya, tampaknya insan IKIP sendiri pun sudah ada yang tergoda untuk ingkar dari mi-sinya. Mereka berusaha melepaskan diri dari tekanan persepsi masyarakat bahwa IKIP ada-lah lembaga profesi (kalau betul profesi) kelas dua, yang merawat calon-calon guru kelas dua, dan bukannya lebih terdorong untuk memperbaikinya.
`Pemecahannya’ jelas menjurus hanya ke pada satu titik tertentu: ubah IKIP menjadi lembaga berstatus universitas. Maka sejak dini, persiapan pun telah dilakukan di mana-mana. Menjelang tahun-tahun kematiannya, IKIP sendiri bahkan telah meniadakan pel- ajaran-pelajaran falsafah pendidikan dari program pendidikan guru. Jadi harus diakui, bahwa memang di dalam tubuh IKIP terdapat segudang masalah: sedikitnya, ada dua kekuatan dualisme tarik menarik: profesional versus ilmuan di tubuh IKIP yang ternyata ber- akibat fatal.
Namun masihkah IKIP dibela post mortem? Begitu burukkah kinerja IKIP sehingga harus ditutup (atau diubah, atau ditransformasi, atau diganti)? Bahwa IKIP kemudian memperoleh penilian negatif dari masyarakat, bu- kanlah pertama-tama dan semata-mata karena IKIP ingkar pada tugas utamanya. IKIP tidak pernah ingkar. Yang benar adalah bahwa IKIP hanya belum berkemampuan me-ngemban amanah profesionalisme itu. Banyak sebab yang menjadikan IKIP sedemikian tidak mampu. Dari pandangan makro, sistem pe-ngelolaan dan penanganan pemerintah sendirilah yang tidak pernah jelas, dan yang tidak memperlihatkan keberpihakan, apalagi prio-ritas, kepada kepentingan guru di lapangan, yang banyak berpengaruh terhadap kelang-sungan pertumbuhan IKIP.
Kebijakan pemerintah di dalam berbagai hal untuk membedakan penanganan universitas dari IKIP dirasakan sebagai diskriminasi, dan suara-suara keras beberapa pengelola teras Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang senantiasa menyangsikan dan memper-tanyakan (tetapi tidak memperbaiki, dan pa-ling jauh hanya masih “toleran” terhadap) ek- sistensi IKIP, menjadi racun yang melumpuhkan di dalam perkembangan IKIP yang mana yang sebenarnya menjadi alasan utama, tidak kita persoalkan sekarang. Hanya, untuk meng-ambil hikmah dari pengalaman yang tragis ini, satu hal perlu dicatat: sejak dulu sampai sekarang, pemerintah, c.q. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan belum pernah berhasil merumuskan kebijakan yang kompere- hensif dan mendasar mengenai pendidikan, posisi, peran, serta pembinaan guru profesio-nal.
Tiga puluh tahun lebih, lembaga tersebut menghasilkan, dari tahun ke tahun lulusan yang diangkat (ataupun tidak sempat diangkat) oleh pemerintah. IKIP almarhum, disebut sebagai lembaga profesional karena lembaga ini didirikan khusus untuk mendidik dan menyi-apkan tenaga-tenaga kependidikan yang profesional. Profesional, di dalam arti kata mam- pu menjalankan sebuah profesi yang khas, yakni mengajar atau mendidik, sesuai dengan berbagai persyaratan profesi guru. Tetapi, itu penamaannya; apakah dengan menyebutnya sebagai lembaga profesional, kemudian benar-benar menjadi profesional? Ini yang kita tunggu-tunggu, tetapi yang tidak sempat di jawab oleh IKIP yang terlanjur sudah tidak ada.
Ketika saya mengemukakan himbauan saya mengenai pentingnya mereposisi ilmu pendidikan di dalam berbagai kesempatan (IKIP Bandung, 12 Mei 1999, FORMOPPI 30 Juni 1999 sebagai presentasi mendahului kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, dan Universitas Negeri Makasar 24 Agustus 1999) IKIP sebagai lembaga memang sudah sedang dalam proses beralih bentuk. Konsiderans pemerintah ketika pada akhirnya mengambil keputusan menghilangkan IKIP dan menggantinya dengan bentuk universitas adalah bahwa dengan perubahan status itu, maka `mutu, relevansi , efisiensi, pemerataan dan akunta-bilitas” dapat ditingkatkan (Keputusan Pre-siden No 93 Tahun 1999).
Implisit, Keputusan Presiden hendak me-ngatakan bahwa karena mutu, relevansi, efisiensi, pemerataan, dan akuntabilitas IKIP rendah, maka perubahan status itulah yang akan menjamin dapatnya ditingkatkan sifat-sifat yang dimaksud. Implisit, diakui bahwa IKIP kurang relevan. Implisit, IKIP tidak efisien. Tetapi yang cukup mengaggetkan ialah bahwa akuntabilitasnya pun rendah. Kede-ngarannya, rendah betul kemampuan IKIP. Bagaimana dengan kemampuan pemerataan yang rendah? Saya tidak dapat mengerti maksud konsiderans itu, kecuali apabila dikaitkan dengan jenis tugas yang sekarang di- letakkan di atas pundak universitas bekas IKIP. Apakah mungkin alasan untuk mengubah IKIP menjadi universitas lebih berat pada pertimbangan supaya daya tampung tingkat universitas menjadi lebih besar, dan bukan terutama supaya sektor pendidikan gurunya menjadi lebih profesional?
Lembaga baru ini digambarkan sebagai lembaga dengan `multi fungsi”: kecuali menerima dan mendidik mahasiswa sebagai lulus-an (ilmuwan?) berbagai bidang studi, uni- versitas baru ini juga bertugas melanjutkan tugas IKIP mendidik guru. Tentulah wajar apabila kita bertanya apakah ketika IKIP masih ada tetapi ternyata tidak dapat melaksanakan fungsi tunggalnya karena alasan-alas-an yang terdapat dalam konsiderans, uni- versitas yang menggantinya _ yang essensinya masih juga IKIP yang dulu _ dapat menjalankan tugas multi? Pertanyaan ini saya nilai wajar, karena kecuali nama yang berbeda, belum kelihatan sifat-sifat lain yang sungguh _sungguh menjadi sifat pembeda, yang meya-kinkan kita bahwa peralihan IKIP menjadi universitas memang akan mampu menjawab ber-bagai masalah profesionalisme _ profesionalisasi _ yang dihadapi. Apakah lembaga baru ini akan jelas lebih profesional dari lembaga yang digantinya? Dari mana kita dapat memperoleh ketegasan ini? Ataukah kita sekarang juga sedang menghadapai sebuah usaha trial _and _ error? (kalau benar begitu, kita sudah mulai sebuah lagi pembaruan dengan cara anti profesionalisme).
Tetapi terlepas dari semua itu, bangsa ini mengharapkan yang terbaik. Kita tidak dapat menutup mata mengenai adanya guru-guru yang sangat memprihatinkan karena mereka hampir-hampir tidak mempunyai kemampuan apapun yang dapat dipertaruhkan sebagai kemampuan yang berguna di dalam melaksanakan tugas. Mereka memang berijazah, tetapi tidak lebih dari itu. Karena itu, di dalam rangka profesionalisasi kependidikan, lembaga baru pengganti IKIP harus segera mengalami perubahan yang relevan, dengan sumber daya manusia yang benar-benar layak disebut pendidik teras, dengan visi yang benar.
Universitas baru itu harus mampu menjadi sebuah thinking instition, sebuah lembaga yang penuh dengan pemikiran dan konsep yang bernas di bidang pendidikan. Lembaga itu harus menjadi pusat _pusat perjuangan pendidikan masa depan. Dan kita semua wajib membantu karena anak bangsa membutuhkan lembaga sekuat itu. Kalau tidak, kalau ternyata perubahan status dari IKIP menjadi universitas tidak menghasilkan apa-apa, hendak ke mana lagi arah perubahan berikutnya? Terlalu mahal untuk berbuat salah!
Profesionalisasi dan reformasi
Profesionalisasi yang diharapkan mulai berjalan dengan lancar di tanah air, pada saat ini perlu dikaitkan dengan gerakan reformasi. Memang kita dapat melihat profesionalisasi sebagai proses yang berkesinambungan, tanpa harus dikaitkan dengan gerakan reformasi pendidikan. Berdasar pengertian tersebut, profesionalisasi akan berlangsung terus, dengan atau tanpa reformasi.
Tetapi pada saat ini, kita tengah meng-hadapi keharusan perubahan pendidikan secara lebih luas,dan sekaligus lebih mendasar, karena melalui krisis yang baru terjadi, kita melihat betapa rapuhnya dasar-dasar pendi-dikan yang dikembangkan selama ini. Seka-ranglah waktu yang tepat untuk mengadakan pembaruan secara lebih fundamental dan sejauh mengenai profesionalisasi, kita dapat me-lihatnya sebagai sebuah tuntutan reformasi.
Tetapi reformasi pun bukanlah sesuatu yang timbul tanpa alasan. Di balik keharusan untuk mengadakan reformasi, ada kekuatan perubahan yang lebih besar yang harus diperhitungkan. Walaupun bagi kita di Indonesia reformasi memang perlu dikaitkan dengan adanya krisis yang sampai sekarang ini belum pulih, kita juga perlu melihat keharusan reformasi di dalam konteks yang lebih luas. Konteks yang dimaksud adalah konteks global, yang sudah berkembang sedemikian jauh, sehingga reformasi di Indonesia tetap harus berlangsung, andai katapun kita tidak berha-dapan dengan krisis yang terjadi.
Dengan perkataan yang lain, sambil memperhatikan kaitan yang dapat dijalin antara pandangan mengenai profesi dengan visi reformasi pendidikan Indonesia, kita sekaligus perlu memperhatikan proses perubahan di da-lam kehidupan yang lebih luas, dengan tujuan untuk memahami trend yang terjadi di dunia, yang dampaknya dapat dipastikan akan menjangkau dunia pendidikan umumnya, dunia persekolahan khususnya.
Beberapa di antaranya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Dunia semakin berubah.
Pendidikan harus berubah, karena sifat kehidupan dewasa ini, terlebih-lebih lagi di masa depan yang segera adalah perubahan yang semakin cepat dan semakin beragam. Yang langsung berkaitan dengan kehidupan sekolah adalah perubahan di dalam berbagai pekerjaan yang dibutuhkan di dalam masyarakat. Se-karang saja, sudah banyak jenis pekerjaan yang lenyap, dan diganti oleh pekerjaan mo-dern, dengan persyaratan ilmu serta keterampilan yang lain, yang belum tercantum di dalam program kurikuler sekolah. Di antara implikasinya adalah bahwa guru harus lebih menekankan agar murid memiliki kemampuan dasar untuk belajar mandiri dan bereksplorasi, dan bukan lagi kemampuan untuk menghafalkan materi pelajaran tertentu.
2. Dunia menjadi semakin teknologi.
Pendidikan harus berubah karena dunia sekarang mempersyaratkan penguasaan tek-nologi baru di dalam abad informasi yang ber-kembang sangat pesat. Dengan adanya tek- nologi informasi yang sudah mampu meraih semua titik yang terpencil sekalipun, maka masyarakat mulai belajar dan mendapatkan informasi dari berbagai sumber; dari radio, televisi, dan komputer. Sekolah sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan bukan lagi sumber informasi yang mutakhir. Tanpa kesadaran untuk berubah, per- kembangan dunia ini akan menjadi ancaman untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga usang, yang makin lama makin tidak berguna.
3. Dunia menjadi semakin bersaing.
Aturan permainan kehidupan kejagatan kini telah berubah. Di dalam bidang sosial dan ekonomi telah terjadi restrukturisasi yang sa-ngat berbeda dari apa yang kita biasakenal. Di dalam proses globalisasi, atau proses internasionalisasi, peraturan utama berarti persaingan. Dengan persaingan yang mendunia ini satu bangsa harus bersaing menghadapi semua bangsa. Kekuatan apa yang dapat dipakai bangsa ini untuk mampu bersaing _ dan mampu bertahan _ kalau pendidikan kita tidak mampu memberdayakan bangsa? Kalau untuk bergumul hidup sehari-hari di dunia kita yang sempit ini, kita sudah kepayahan, di mana kekuatan kita untuk tampil berlaga di arena dunia?
4. Dunia menjadi semakin pluralistik.
Di sini timbul gejala yang merupakan sebuah paradoks. Dengan semakin intensifnya kehi-dupan antarbangsa, bangsa tidak menjadi makin seragam, tetapi makin beragam. Seti-dak-tidaknya, itulah yang terjadi di dalam bi-dang moral dan kehidupan kebudayaan. Semakin banyak ragam nilai-nilai hidup yang bermunculan, dan keberagaman itu dapat menimbulkan persaingan nilai, bahkan pertentangan nilai hidup. Di dalam pendidikan, ma- salahnya antara lain menjadi bagaimana menyiapkan generasi kemajemukan nilai itu. Sekarang, para guru harus lebih menggiatkan anak didik untuk mampu menilai bukan sekedar mengenal nilai, bahkan mampu me-ngembangkan serta, bila perlu, mampu mempertahankan prinsip kehidupan dan kultural.
Kecenderungan dunia yang sekarang sedang berpengaruh bukan hanya yang telah dikemukakan itu. Para peramal masa depan dapat menunjukkan trend yang lebih banyak, lebih meyakinkan, tetapi juga kadang-kadang lebih menakutkan. Kita dapat menjadi takut kearena seandainya benar yang mereka ramalkan akan terjadi, betapa terbelakangnya bangsa Indonesia. Betapa tidak siapnya kita di dalam permainan global. Betapa sedihnya, karena bangsa ini mungkin hanya mampu hidup sebagai bangsa yang tersisihkan, bangsa yang tidak mempunyai alternatif kecuali memilih untuk kalah.
Akhirnya, kembali kepada persoalan po-kok, kita dapat berkesimpulan bahwa memang ternyata begitu banyak yang harus diperhitungkan, baru untuk memulai sebuah proses profesionalisasi tenaga-tenaga kependidikan. Sekarang, pilihan terletak di tangan kita ma-sing-masing.
Kalau kita mau mudah saja, dan kalau kita anggap cukup untuk sekedar membuat sebuah perumusan profesionalisasi pendidikan yang dapat berlaku di segala zaman, maka tentu itu pun dapat kita lakukan.
Tetapi kalau itu yang kita lakukan, kita sudah mulai dari awal bertindak anti profesional. Tidak ada sikap dan tindakan anti profesionalisme yang dapat membangun pro- fesionalisme. Paling-paling, kita akan menjadi `profesional’ di dalam bertindak anti profesional. Kita tidak menghendaki itu bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar