Tahun sudah berganti, bahkan hampir memasuki bulan keempat 2011, adakah yang berubah pada diri kita? Satu hal yang pasti: usia bertambah, jatah hidup berkurang. Lainnya? Belum tentu. Hari ini, saat ini; mari kita tengok diri kita. Sekali-kali mau dong meneliti diri sendiri. Jangan orang lain terus yang menjadi bidikan penilaian oleh kita.
Kita mungkin kerap mengritik orang lain tidak mau berubah. Kita kerap meminta teman satu tim untuk menyesuaikan diri dengan anggota yang lain, meminta anak buah agar mentaati aturan baru, dan banyak lagi. Tuntutan itu bukan hanya kita “kumandangkan” di kantor, tapi juga di rumah. Dan kita kerap nyaris frustrasi sebab tuntutan itu sering kali menghadapi tembok tebal, suara kita majal, untuk kemudian mental. Mungkin, lantaran lelah menuntut perubahan, akhirnya kita memilih diam.
Berubah memang tidak mudah. Kita sendiri tentu kerap mengalami dan merasakannya. Salah satu sebabnya bisa jadi karena kita sudah merasa nyaman berada dalam keadaan tertentu. Kita enggan mengangkat pantat dari zona kenyamanan. Biarpun di luar sana banyak hal kelihatan menarik, kita lebih suka duduk manis di tempat yang mungkin sudah bertahun-tahun kita duduki. Kita gamang mengganti yang sudah pasti dengan sesuatu yang masih samar.
Ada risiko yang mungkin dapat dikalkulasi, tapi tetap saja kita gamang memutuskannya. Mungkin pula kita tidak berani mengambil risiko. Karena takut kehilangan jabatan ketua organisasi, seorang petahana (incumbent person) tidak mau menyelenggarakan pemilihan yang jujur dan adil. Ia cemas bakal kehilangan segala macam hak istimewa yang melekat pada jabatan itu.
Mungkin pula ia takut kehilangan gengsi “memerintah” yang dianggap melekat pada suatu jabatan. Begitu cemasnya, ia pun mendesak istri, anak, menantu, untuk ikut bersaing dalam perebutan posisi. Dengan demikian, inti lingkaran-1 tetap diisi oleh orang-orang terdekat. Zona kenyamanan dijaga agar tidak berubah banyak.
Kita sering menyaksikan orang-orang semacam itu memiliki banyak pengikut yang juga tidak bersedia berubah. Apa lagi jika pengikut ini ikut menikmati keadaan status quo. Dan ini bukan hanya terjadi pada organisasi politik, kekuasaan, olahraga, tapi juga perusahaan. Orang-orang yang “nebeng” ini lazimnya malah mempersukar terjadinya perubahan dalam organisasi. Contoh tentang hal ini bertebaran di sekitar kita, di saat-saat sekarang.
Resistensi terhadap perubahan jelas mempunyai sisi yang merugikan, yakni merintangi adaptasi guna meraih kemajuan. Pada skala perusahaan, banyak contoh yang menunjukkan bahwa keengganan untuk berubah menyebabkan merosotnya kinerja perusahaan, hingga perusahaan itu ambruk. Ada kampiun fotografi yang di masa lampau sangat dikenal, bahkan mereknya kemudian menjadi nama generik kamera. Namun, merek ini sekarang kurang dikenal oleh generasi net karena tidak cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan industrinya yang didorong oleh kemajuan teknologi digital. Orang tidak lagi memotret dengan memakai film.
John Kotter, ahli manajemen perubahan, mengingatkan bahwa tahap awal untuk melakukan perubahan ialah menancapkan pada benak dan hati orang-orang yang diajak berubah bahwa perubahan harus dilakukan. Namun, soalnya, menanamkan sense of urgency ini merupakan langkah yang paling sulit. Kebanyakan diantara kita telah dihinggapi pikiran kolot. Rutinitas dan kemapanan telah membentuk kita pada status enggan berubah.
Kotter mencontohkan, untuk mendorong karyawan agar mau berubah, manajemen mesti menyuntikkan senses of urgency bahwa perusahaan akan ambruk bila tidak berubah, sebab selera konsumen berganti, pesaing mengembangkan teknologi baru, dan pemain-pemain baru masuk. Bila perusahaan ambruk, semua orang kehilangan pekerjaan.
Ada sejumlah tahap yang mesti dilalui agar agenda perubahan dapat dijalankan. Tapi yang paling sukar dan banyak memakan energi ialah pertama-tama meyakinkan semua orang bahwa perubahan itu perlu atau bahkan wajib. Untuk diri sendiri, nasihat Kotter itu juga berlaku: yakinkan lebih dulu diri sendiri bahwa kita mesti berubah baru kemudian melangkah untuk berubah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar