Minggu, 09 September 2012

Morotai

Morotai, sebuah Essay kritik dari Jendelasastra

Dulu, ia adalah pintu berarti untuk negeri ini. Orang-orang Jepang dan Amerika berlalu lalang di sini. di Morotai. Ya, Morotai sebuah nama yang menjadi rebutan antara Jepang dan Amerika. Begitu berarti saat itu. Antara kata menang dan kalah, Morotai seolah menjadi kunci pembuka teka-teki.

Kini, setelah teka-teki itu terajawab dengan sempurna, Morotai ditinggalkan. Apakah dilupakan? Tidak! Sebab tahun 1956, Presiden Sukarno dan Wakilnya Moh. Hatta berkunjung dan mengajak untuk membesarkan negeri ini. Setelah Jakarta tumbuh besar, berikutnya Morotai. Begitu kata-kata yang terucap dari pendiri negeri ini. Dan Morotai setia menunggu janji indah itu terpenuhi.

Aku tidak tahu apakah Jakarta saat ini sudah besar atau belum. Aku kurang mengerti apakah janji itu masih tetap berbunyi sebagai nyanyian indah penghibur hati ataukah sudah hilang terbuang melayang terbawa angin reformasi. Yang pasti Morotai tetap pintu yang berarti bagi negeri ini.

Janji itu sempat aku ceritakan kepada Nakamura, tentara Jepang yang tidak mengenal kata menyerah. Nakamura penghuni Morotai sendiri tidak peduli karena bukan pemilik negeri. Baginya yang penting ia telah hidup menyatu di bumi Morotai untuk melawan mati. Tentara sekutu tidak tahu kalau dirinya bersembunyi; di Morotai. Nakamura kini telah pergi, pulang ke Jepang dan lima tahun kemudian ia mati. Morotai masih sama, setia menunggu janji pendiri negeri ini untuk ditepati."Jakarta dulu, baru sini."

Kawan, sesama pemilik negeri ini, tolong kabarkan kepada kami yang di sini. Apakah Jakarta sudah menjadi besar? Tolong ceritakan kepada kami keadaan pembangunan di Jakarta. Mengapa giliran tempat kami begitu lama digarap, apakah pendiri negeri ini tidak sempat menyampaikan pesan untuk kami?

Morotai, pintu terdepan masuk negeri ini. Mc. Arthur mati-matian merebut Morotai, mengapa pemimpin negeri ini tidak melirik kami?